Impor raw sugar selalu menjadi hantu bagi petani tebu, pasalnya dengan masuknya impor raw sugar dapat mengganggu gula kristal putih (GKP) yang dihasilkan dari tanaman tebu miliknya.
“Sebab selama ini impor raw sugar selalu berlebih dari kebutuhan yang berakibat banyak yang merembes ke masyarakat,” kata Ketua Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikun kepada perkebunannews.
Tidak hanya itu, menurut Soemitro bukti berlebihnya impor raw sugar juga terlihat di akhir 2016 yang ditambah dengan impor raw sugar 2017 yang berakibat pada menumpuknya gula di pergudangan milik pedagang.
“Jadi saat ini menumpuknya gula dipergudangan milik pedagang merupakan bukti bahwa berlebihnya impor raw sugar,” keluh Soemitro.
Sehingga, menurut Soemitro, jika impor raw sugar yang dikatakan akan datang di semester I awal tahun 2018 ini juga berlebih bukan tidak mungkin akan memperburuk kondisi petani tebu. Seperti diketahui di semester I diperkirakan akan masuk impor raw sugar sebesar 1,8 juta ton.
Melihat fakta ini maka sebaiknya dihitung terebih dahulu berapa sebenarnya kebutuhan untuk GKR untuk industri mamin, sehingga tidak ada rembesan GKR ke konsumen yang dapat memukul GKP yang berbahan baku tebu rakyat.
“Jadi hitunglah terlebih dahulu berapa sebenarnya kebutuhan raw sugar untuk bahan baku GKR, jangan sampai mengganggu GKP yang berbahan baku tebu milik kita (petani-red),” tegas Soemitro.
Biarkan Pasar yang Menentukan
Disisi lain, Soemitro menyayangkan dengan adaya harga eceran tertinggi (HET) diangka Rp 9.700/kg yang dibeli oleh Bulug. Padahal biaya produksi ditingkat petani sebesar Rp 10.600/kg. Sedangkan harga gula dipasaran Rp 12.500/kg. Artinya biaya produksi masih lebih tinggi daripada pembelian yang dilakukan oleh Bulog.
“Kami berharap jangan seperti itu biarkanlah pasar yang menentukan harga jangan ditetapkan seperti itu yang bisa merugikan kami petani tebu, seperti biaya produksi lebih besar dari biaya pembeliannya,” himbau Soemitro. Berita selengkapnya ada pada edisi 172. YIN