Jakarta, mediaperkebunan.id – Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia memiliki peran strategis dalam rantai pasok global. Industri ini berkontribusi sekitar 3,5% terhadap PDB nasional dan memberikan lapangan kerja bagi lebih dari 18 juta orang. Namun, sektor kelapa sawit menghadapi tantangan besar terkait keberlanjutan, terutama dalam memenuhi standar global yang terus berkembang, seperti Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang akan mulai diterapkan pada 2026.
Regulasi ini mewajibkan kepatuhan terhadap aspek ketelusuran, pengelolaan kebun tanpa deforestasi, serta pemenuhan uji tuntas. Meski penerapannya ditunda dari 2025 ke 2026, industri kelapa sawit Indonesia tetap harus bersiap, terutama dalam memperkuat peran smallholders. Dengan kepemilikan 40% dari total luas perkebunan sawit di Indonesia, smallholders menjadi faktor kunci dalam peningkatan produksi dan produktivitas.
Namun, mereka juga menjadi kelompok yang paling terdampak oleh EUDR. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama berbagai pemangku kepentingan dalam mendukung smallholders melalui kebijakan tata kelola, regulasi, teknologi, serta akses data dan pembiayaan.
Sebenarnya, minyak sawit bukanlah penyebab utama deforestasi. Sejarah mencatat bahwa deforestasi sudah terjadi jauh sebelum industri sawit berkembang, akibat kebijakan konsesi hutan pada 1970-an dan berbagai kebijakan lain yang kurang tepat. Justru, industri kelapa sawit berperan dalam mengoptimalkan lahan terdegradasi akibat praktik kehutanan yang tidak sesuai standar dengan mengalihkannya menjadi lahan produktif.
Maka, implementasi EUDR seharusnya tidak memberlakukan kebijakan yang tidak adil bagi negara produsen minyak sawit seperti Indonesia. Jika regulasi ini mengandung unsur regulatory imperialism, maka pendekatan yang lebih kooperatif perlu diterapkan, baik oleh Komisi Eropa maupun Indonesia guna menjaga daya saing minyak sawit Indonesia di pasar global termasuk Uni Eropa. Langkah ini penting untuk memastikan keberlanjutan industri kelapa sawit dalam jangka panjang.
Berdasarkan diskusi dalam Dialog Kolaboratif yang diadakan dalam rangka Indonesia Economic Summit (IES) 2025, Indonesia masih memiliki peluang besar untuk memimpin industri sawit berkelanjutan. Dengan menyeimbangkan peran industri sawit bagi pertumbuhan ekonomi nasional serta kelestarian lingkungan, Indonesia dapat tetap menjadi pemain utama yang kompetitif dan bertanggung jawab dalam sektor ini.
Acara IES 2025 diselenggarakan oleh Global Alliance for a Sustainable Planet (GASP), Indonesian Business Council (IBC), dan Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS), dan mempertemukan 60 tokoh penting dari berbagai sektor, termasuk pemerintah, dunia usaha, dan mitra strategis. Diskusi ini membahas berbagai peluang kolaborasi dan investasi guna mendukung pengembangan industri sawit yang lebih berkelanjutan di Indonesia.