Jakarta, Mediaperkebunan.id – Penurunan produksi kelapa akibat kemarau tahun lalu ditambah dengan bebasnya ekspor kelapa butiran membuat industrii pengolahan kelapa dalam negeri kesulitan mendapatkan bahan baku. Industri arang briket kelapa dan karbon aktif sudah banyak yang tutup dan kedepan akan lebih banyak lagi. Kalau pemerintah tidak segera mengatasi ini maka dalam industri lain seperti industri terpadu, minyak kelapa dan lain-lain akan menyusul. Dalam tiga bulan kedepan banyak industri kelapa tutup, hal ini akan berdampak buruk pada iklim investasi Indonesia juga semakin meningkatnya pengangguran.
Hal ini disampaikan pengurus HIPKI (Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia) , yang terdiri dari Rudy Hadiwidjaja (Ketua Harian), Dippos Naloandro Simanjuntak (Wakil Ketua), Amrizal Idrus (Wakil Sekjen), Michael Darwis, Ketua bidang Briket arang,karbon aktif, Erwanda (bidang briket arang, karbon aktif) , Yana, Rabu (18/12/2024).
HIPKI minta pemerintah segera mengeluarkan kebijakan untuk menahan ekspor kelapa segar apakah berupa moratorium ekspor 3 bulan atau 6 bulan, pengenaan pajak ekspor kelapa segar atau bentuk lain seperti subsidi pembelian bahan baku. Kondisi saat ini ironis , Indonesia yang mencanangkan hilirisasi dan produsen kelapa nomor 2 terbesar di dunia, tetapi industri pengolahan beroperasi hanya dibawah kapasitasnya dan banyak yang tutup.
Industri pengolahan buah kelapa segar yang memproduksi santan, desiccated, dan konsentrat air kelapa, serta industri arang yang memproduksi briket dan karbon aktif saat ini beroperasi dibawah 20% kapasitas utilitas terpasang. Untuk beberapa industri bahkan hanya beroperasi 2 – 3 kali dalam seminggu. Beberapa pabrik kelapa bahkan sudah tidak berproduksi alias tutup.
Jika kondisi ini berkelanjutan, maka industri kelapa yang masih survive harus mengkalkulasi ulang beban yang dimiliki. Termasuk melakukan kebijakan yang tidak populer: pengurangan tenaga kerja!
Berdasarkan survei internal HIPKI dari 16 perusahaan pengolahan kelapa rata-rata saat ini hanya beroperasi 33% kapasitas berjalan (running capacity). Apabila pabrik terpaksa tutup (shutdown) dikarenakan tidak ada bahan baku akan berdampak kepada 21.399 pekerja. Asumsikan 1 pekerja memiliki 1 istri dan 2 anak, maka akan berdampak pada 85.596 orang akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.
Dari 8 perusahaan anggota HIPKI apabila beroperasi 100% dari kapasitas terpasang akan menghasilkan nilai ekonomi sebesar 7,2 Triliun, dengan kapasitas berjalan (running capacity) saat ini akan berdampak pada kerugian nilai ekonomi sebesar 4,3 Triliun. Pangsa pasar anggota perusahaan HIPKI mayoritas adalah ekspor (75%). Apabila kondisi kelangkaan bahan baku yang melanda industri pengolahan kelapa terus berlanjut, negara dapat berpotensi kehilangan 75% devisa hasil ekspor industri pengolahan kelapa.
Kondisi tersebut merupakan gambaran industri pengolahan kelapa yang tergabung di HIPKI, belum termasuk industri pengolahan kelapa di luar HIPKI, tentu dampaknya lebih besar. Saat ini diantara negara produsen kelapa, hanya Indonesia saja yang membebaskan ekspor kelapa segar. Filipina, Thailand, India, Srilanka melarang ekspor kelapa segar.
Saat ini terjadi pembiaran ekspor kelapa bulat, baik secara resmi maupun illegal ke berbagai negara, terutama China, Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Hal ini merupakan pengulangan secara periodik dari situasi yang pernah dialami selama dua puluh tahun terakhir seiring dengan pesatnya pertumbuhan industri kelapa di negara – negara tersebut. Ironinya, pesatnya pertumbuhan industri pengolahan kelapa di negara asing tersebut terjadi justru dengan memanfaatkan longgarnya regulasi tata niaga kelapa oleh pemerintah Indonesia sampai saat ini.
Sementara pihak asing yang mengimpor kelapa bulat menikmati hasil pertambahan nilai, industri kelapa dalam negeri semakin merana. Kelangkaan pasokan kelapa, meningkatkan harga kelapa. Selain kekurangan dan ketidakpastian bahan baku, industri kelapa Indonesia dibebani dengan harga kelapa yang tinggi. Sehingga menaikkan biaya produksi.