Bogor, Mediaperkebunan.id – Seharusnya harga minyak goreng bersubsidi Minyakita bisa tetap stabil di bawah atau setara dengan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 15.700 per liter seperti yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag).
“Berdasarkan realisasi kewajiban pemenuhan pasar dalam negeri atau domestic market obligation (DMO),” kata pakar ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Prof A Faroby Falatehan, seperti dikutip Mediaperkebunan.id dari laman resmi IPB, Rabu (19/3/2025).
“Produksi MinyaKita mencapai 213.988 ton per bulan, sedangkan kebutuhan nasional hanya 170.000 ton per bulan,” tutur Prof A Faroby Falatehan lebih lanjut.
Kata dia, dengan jumlah pasokan yang melebihi kebutuhan hingga 125 persen, seharusnya harga MinyaKita bisa stabil di bawah HET yang ditetapkan Kemendag.
“Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan kalau harga Minyakita yang lebih tinggi,” ungkap Prof A Faroby Falatehan menambahkan.
Dirinya meyakini bahwa kasus naiknya harga MinyaKita sebagai bentuk kelalaian dari pemerintah dalam proses pengawasan distribusi minyak goreng bersubsidi Minyakita. Sebagaimana diketahui, beredar temuan bahwa kemasan satu liter MinyaKita kenyataannya hanya berisi 750-800 mililiter (ml).
Menurut Prof Faroby, kejadian ini salah satunya terjadi akibat ketidaktakutan beberapa oknum dalam melakukan kecurangan. Guru Besar Ilmu Kebijakan Ekonomi IPB University ini menguraikan, selain volume produk yang lebih sedikit, harga MinyaKita yang dijual di pasaran melebihi HET sebesar Rp15.700 per liter, tetapi justru dijual dengan harga Rp 18.000 atau untuk Rp 300 per liter.
“Total kerugian mencapai Rp 6.800 per kilogram, terdiri dari Rp 2.300 akibat harga yang lebih tinggi dan Rp 4.500 dari volume yang berkurang. Ini mengakibatkan masyarakat mengalami kerugian ganda,” tegasnya.
Prof Faroby menegaskan bahwa pemerintah harus memperketat pengawasan harga dan kuantitas produk, bukan sekadar menjalankan program tanpa evaluasi.
“Pengawasan dan pembinaan harus menjadi bagian permanen dari pemerintahan agar kasus serupa tidak terus berulang,” ujar Prof Faroby.
Sebenarnya, tambah Prof Faroby, regulasi terkait HET telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2024 tentang Minyak Goreng Sawit Kemasan dan Tata Kelola Minyak Goreng Rakyat. Produsen yang melanggar HET dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis hingga dua kali dalam tujuh hari kerja.
“Jika pelanggaran berlanjut, sanksi dapat berupa penghentian sementara penjualan, penutupan gudang penyimpanan, penarikan produk dari distribusi, hingga pencabutan izin usaha,” ucapnya.
Pelaku usaha yang menjual produk di atas HET berpotensi melanggar Undang – Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pada Pasal 8 misalnya, disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan (ayat a).
“Dan tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut (ayat b),” sambung Prof Faroby.
Sementara di Pasal 19 menegaskan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Pemerintah juga bertanggung jawab dalam pembinaan dan pengawasan perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 29 dan 30 UU Perlindungan Konsumen.
“Jika ditemukan pelanggaran yang merugikan konsumen, tindakan tegas harus diambil, termasuk pencabutan izin usaha,” ucap Prof Faroby.
Prof Faroby mengatakan bahwa kasus MinyaKita dapat diselesaikan melalui penegakan regulasi yang sudah ada, termasuk ganti rugi bagi konsumen dan sanksi terhadap produsen yang melakukan pelanggaran. Ia juga menyebut, kenaikan harga dan kecurangan dalam distribusi minyak goreng juga berdampak pada daya beli masyarakat, terutama selama bulan Ramadan.
Kata dia, konsumsi masyarakat meningkat dan harga kebutuhan pokok cenderung naik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan pernyataan dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi 0,09 persen pada Februari 2025, yang menunjukkan penurunan daya beli.