Jakarta, mediaperkebunan.id – Industri minyak sawit global menghadapi dinamika yang signifikan pada tahun 2025. Menurut laporan terbaru dari Glenauk Economics dalam Palm & Lauric Oils Price Outlook Conference (POC) 2025, produksi minyak sawit Indonesia diprediksi mengalami peningkatan sebesar 2,2 juta ton, sementara Malaysia justru terancam mengalami penurunan produksi akibat faktor cuaca dan penyakit tanaman.
Indonesia Tingkatkan Produksi, Malaysia Hadapi Tantangan
Indonesia, sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia, akan mengalami pemulihan produksi setelah mengalami penurunan pada tahun 2024. Kondisi ini didukung oleh curah hujan yang lebih baik, terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Sebaliknya, produksi minyak sawit Malaysia diprediksi turun menjadi 19,2 juta ton pada 2025. Penyebab utama penurunan ini adalah kekeringan dan wabah penyakit tanaman yang menyerang perkebunan di Sabah dan Sarawak. Selain itu, meskipun jumlah tenaga kerja di sektor perkebunan meningkat pada 2024, dampaknya terhadap produktivitas tidak cukup untuk menahan dampak negatif dari kondisi lingkungan.
Persaingan Minyak Nabati dan Dampaknya pada Harga Minyak Sawit
Meskipun produksi minyak sawit Indonesia meningkat, pasar global menghadapi tantangan baru dalam bentuk persaingan dari minyak nabati lain, seperti minyak kedelai dan minyak rapeseed.
Sejak 2019, pertumbuhan produksi minyak sawit tidak mampu mengimbangi peningkatan produksi minyak kedelai. Hal ini menyebabkan harga minyak sawit semakin sulit untuk mempertahankan premiumnya di pasar internasional. Glenauk Economics memperkirakan bahwa harga minyak sawit akan melemah pada semester pertama 2025, mencapai kisaran 4.000 hingga 4.200 MYR per ton pada Juli 2025, sebelum mengalami pemulihan di semester kedua.
Stok Minyak Sawit Indonesia Melonjak, Berimbas ke Malaysia
Salah satu faktor utama yang akan mempengaruhi harga minyak sawit adalah peningkatan stok di Indonesia. Sejak kuartal keempat 2024, stok minyak sawit Indonesia terus meningkat, sebagian besar disebabkan oleh pembatasan ekspor produk limbah sawit (POME) yang biasanya digunakan sebagai bahan baku biodiesel di Uni Eropa dan AS.
Lonjakan stok ini diperkirakan mencapai puncaknya pada April 2025, sebelum akhirnya mulai berkurang di semester kedua tahun ini. Stok yang berlebihan di Indonesia juga diprediksi akan berdampak pada Malaysia, dengan kemungkinan terjadinya limpahan ekspor minyak sawit dari Indonesia ke Negeri Jiran.
Strategi Indonesia dan Malaysia dalam Menghadapi Pasar Global
Dengan dinamika pasar yang berubah cepat, baik Indonesia maupun Malaysia harus menyusun strategi yang tepat untuk menjaga daya saing industri sawit mereka.
- Indonesia berfokus pada peningkatan produksi dan ekspansi biodiesel melalui program B40, yang sudah mulai diimplementasikan pada awal 2025. Langkah ini bertujuan untuk menyerap kelebihan produksi minyak sawit di dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada ekspor.
- Malaysia, di sisi lain, perlu menghadapi tantangan dalam menstabilkan produksi dan mempertahankan daya saing harga minyak sawitnya. Dengan stok yang diperkirakan akan meningkat akibat limpahan dari Indonesia, Malaysia harus memastikan bahwa minyak sawit tetap kompetitif dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, terutama minyak kedelai.
Apa yang Harus Diantisipasi?
Pasar minyak sawit global pada 2025 akan ditandai dengan peningkatan produksi Indonesia, penurunan output Malaysia, serta persaingan ketat dengan minyak nabati lain. Harga minyak sawit kemungkinan besar akan mengalami penurunan di semester pertama sebelum kembali pulih di paruh kedua tahun ini.
Bagi pelaku industri, memahami tren ini sangat penting untuk menyusun strategi bisnis yang adaptif. Dengan dinamika yang terus berkembang, keputusan dalam pengelolaan produksi, ekspor, serta diversifikasi pasar akan menjadi faktor kunci dalam menjaga daya saing minyak sawit Indonesia dan Malaysia di pasar global.