JAKARTA, Mediaperkebunan.id – Pelaksanaan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 38 tahun 2008 menjadi faktor penentu agar harga karet petani tidak jatuh. Mestinya harga karet petani sama dengan harga beras di pasaran.
Demikian dikatakan Ketua Umum Asosiasi Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) Nasional Sugeng Hartadi menanggapi harga karet yang cenderung rendah. “Semestinya harga karet petani bisa senilai paralel dengan harga beras,” tukasnya.
Menurut Sugeng, untuk mencapai harga karet yang diharapkan petani harus melakukan beberapa syarat. Pertama, melaksanakan Permentan 38/2008. Karet bersih tanpa terkontaminasi bahan lain, menggunakan zat pembeku anjuran (Specta, Diorup), dan tidak di jemur tidak direndam.
Kedua, karet dijual umur waktu, misalnya per umur 14 hari. “Petani juga harus berkelompok dalam menjual karet dan langsung ke pabrik terdekat,” ujar Sugeng.
Sugeng mengatakan, untuk wilayah Kabupaten Muratara, Musirawas, Kota Lubukl Linggau ada tiga pabrik besar, yaitu PT Kirana Windu di Uratara, PT BBA dan PT SAS di Musirawas. Petani dapat menjual karet ke pabrik tersebut.
“Sepanjang petani karet masih memproduksi karet kotor dan dijual masing-masing ke pedagang pengumpul, maka harga karet petani tidak akan memiliki nilai tawar, dan harga tetap diberikan semaunya oleh pedagang pengumpul tersebut,” jelas Sugeng.
Petani karet di Kabupaten Muratara, Sumatera Selatan, mengeluh harga karet cenderung fluktuasi ke titik rendah. Karet petani hanya dihargai Rp 5.000 – 6.000 per kilogram (Kg). Di Muratara juga ada pasar lelang seperti di Banyuasin atau Musi Banyuasin.
Padahal, kata Sugeng, tren harga karet di Sumsel untuk K3-100% harga lelang pada 18 September 2020 sebesar Rp 16.353/Kg. Sementara itu hasil lelang BOKAR pada Asosiasi Petani Karet Kabupaten Kuantan Singingi (APKARKUSI) pada 20 September 2020 sebesar Rp 9.205/Kg. harga karet pun terus meningkat terus. (YR)