Jakarta, mediaperkebunan.id – Harga kakao di pasaran saat ini terus mengalami kenaikan, memberikan angin segar bagi para petani. Kenaikan harga ini memberikan peluang bagi para petani untuk kembali mengembangkan perkebunan kakao. Namun, di tengah kabar baik ini, industri kakao masih menghadapi sejumlah tantangan terutama dalam hal penyediaan benih kakao unggul.
Menurut pernyataan Direktur Tanaman Semusim dan Tahunan, Ditjenbun, Kementan, Ir. Baginda Siagian, M.Si. kakao masih memiliki permasalahan dalam ketersediaan benih kakao yang unggul. Oleh karena itu, ia berharap agar pihak yang bergerak di sektor perbenihan dapat kembali menggiatkan produksi benih unggul yang bersertifikasi. Jika sumber benih dapat kembali bergerak, pengembangan kawasan kakao akan semakin luas.
Saat ini, sejumlah daerah seperti Aceh dan Sumatera Utara telah menunjukkan minat untuk memperluas area perkebunan kakao. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan terhadap komoditas ini semakin meningkat sehingga perlu disiapkan benih yang bermutu tinggi, lengkap dengan sertifikasi guna memastikan kualitas hasil produksi beberapa tahun ke depan.
“Kita berharap teman-teman di bidang perbenihan mulai membina lagi sumber-sumber benih kakao yang dulu sempat mati suri. Jika sumber benih sudah bergerak, saya pikir pengembangan kawasan kakao akan semakin masif,” ujar Baginda.
Seiring dengan meningkatnya produksi kakao dalam negeri, impor kakao pun mengalami penurunan. Menurut Baginda, harga kakao yang saat ini tinggi mendorong petani untuk menanam lebih banyak kakao. Namun, ia mengingatkan bahwa harga komoditas perkebunan bersifat fluktuatif dan petani harus memahami dinamika pasar.
“Nanti bisa saja harga kakao turun lagi, seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Petani perlu memahami bahwa harga komoditas perkebunan cenderung berfluktuasi. Seperti halnya karet, ketika harga turun, banyak petani yang mengalihkan lahan mereka ke komoditas lain seperti kelapa sawit. Oleh karena itu, penting bagi petani untuk mendapatkan pemahaman yang baik mengenai siklus harga agar tidak terjebak dalam tren sesaat dan tetap konsisten dalam mengelola perkebunan mereka,” jelasnya.
Baginda juga menyoroti keterbatasan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pengembangan kakao ke depan. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya pendekatan swadaya serta kerja sama dengan pihak swasta untuk mendukung pengembangan industri kakao.L
ebih lanjut, ia menjelaskan bahwa saat ini kakao telah masuk dalam skema pendanaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Namun, keputusan resmi terkait rincian pembagian anggaran masih dalam proses.
“Saat ini kakao sudah masuk BPDP, tetapi belum ada surat keputusannya. Kita masih menunggu seperti apa rincian pembagiannya. Jika sudah berjalan, maka secara bertahap pendanaan dari APBN bisa dikurangi, seperti yang telah diterapkan pada sektor sawit,” tutupnya.
Meskipun skema pembiayaan dan regulasi masih dalam tahap penyempurnaan, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkebunan tetap berkomitmen untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sektor perkebunan kakao. Dengan adanya sinergi antara petani, pemerintah, dan sektor swasta, diharapkan industri kakao Indonesia dapat terus berkembang secara berkelanjutan dan mampu bersaing di pasar global.