2024, 3 Oktober
Share berita:

Tanjung, mediaperkebunan.id – Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Supiandi Sabiham menyebutkan emisi kelapa sawit di Indonesia sangatlah rendah, yaitu 20-25 ton CO2 ekuivalen per hektare (ha) dalam satu tahun.

Karena itu tudingan bahwa sawit sebagai penghasil emisi besar hanyalah kampanye negatif negara barat untuk menjatuhkan industri kelapa sawit.

“Beberapa penelitian mengatakan perkebunan sawit menghasilkan 90 ton CO2 per hektar per tahun, menurut saya itu tidak realistis. Metode penelitian yang mereka gunakan terlalu banyak asumsi sehingga tidak akurat,” jelas Supandi.

Supandi menuturkan, dari hasil penelitian rata-rata emisi CO2 netto dibandingkan dengan jumlah yang diemisikan dari permukaan gambut, dapat dikemukakan bahwa terdapat penurunan yang cukup besar terkait dengan CO2 yang diemisikan ke atmosfir. Hal ini disebabkan adanya penyerapan kembali oleh tanaman.

“Artinya ada kontribusi tanaman sawit yang diusahakan terhadap penurunan emisi CO2 netto, baik tingkat lokal maupun nasional,” ungkap Prof. Supiandi Sabiham.

Sebelumnya, Prof. Supiandi Sabiham menjadi tim ketua penelitian Uji Faktor Emisi Perkebunan Sawit yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) di PT Kimia Tirta Utama (KTU), Riau pada tahun 2018 hingga 2020.

Saat ini, IPB bersama Universitas Lampung (Unila) kembali melakukan uji coba serupa di PT Persada Dinamika Lestari (PDL), Kalimantan Selatan sebagai representasi wilayah lain.

Emisi karbon masih menjadi perhatian utama dunia akibat pemanasan global. Industri kelapa sawit Indonesia menjadi salah satu sasaran yang diduga menjadi salah satu penyebab utama yang mendorong tingginya emisi karbon di Indonesia.

Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), 10% emisi global dihasilkan oleh efek gas rumah kaca dari degradasi atau pembukaan lahan. Tanaman produksi yang berkelanjutan seperti kelapa sawit memiliki peran penting dalam memitigasi dampak perubahan iklim karena memiliki siklus hidup yang lebih lama dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya.

Baca Juga:  B30 SUDAH SIAP

Di tahun 2017, Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi untuk mengeluarkan minyak sawit dalam rantai pasok bahan bakar terbaharukan karena dituding menjadi penyumbang gas emisi tertinggi dari konversi lahan. Hal ini dinilai dapat berpotensi menurunkan sekuestrasi dan meningkatkan emisi karbon.

Kalimantan Selatan dikenal sebagai salah satu sentra sawit di Indonesia. Penelitian yang diketuai Dr. Ir. Heru Bagus Pulunggono ini menjadi salah satu representasi untuk Pulau Kalimantan sebagai uji multilokasi faktor emisi lahan gambut Indonesia untuk budidaya kelapa sawit.

“Penelitian serupa sedang dilaksanakan di PT PDL dengan metode yang sama. Bedanya hanya lokasi, dan juga kami mengembangkan model estimator emisi CO2 berbasis kecerdasan buatan (AI) dan machine learning bersama tim dari Unila,” ungkap Dr. Ir. Heru Bagus Pulunggono.

Penelitian yang dibiayai Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) ini menggunakan metode penilitian data dan pengukuran langsung di lapangan. Adapun titik penilitian yang telah dilakukan dapat mewakili area Riau dan Kalimantan. Hasil penelitian ini menjadi salah satu bukti ilmiah yang menunjukkan komoditas sawit tidak menyebabkan kerusakan lingkungan seperti yang dituduhkan. (*)