Surabaya, mediaperkebunan.id – Beberapa hari terakhir jagad perekonomian Indonesia diributkan oleh dugaan korupsi senilai ratusan triliun rupiah terkait Pertamax oplosan berbahan Pertalite oleh pihak Kejaksaan Agung (Kejagung). Seperti kita ketahui, Pertamax dan Pertalite yang diproduksi oleh salah satu raksasa badan usaha milik negara (BUMN) masing-masing memiliki research octane number (RON) 92 dan 90.
Nah, di ujung timur Pulau Jawa, ada satu pakar energi dari kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya yang berhasil menemukan dan memformulasikan (bahan bakar minyak) yang sanggup memiliki RON dari mulai 98 sampai 102. Pakar tersebut, seperti dikutip Mediaperkebunan.id dari laman resmi ITS, Sabtu (8/3/20259, bernama Prof Dr Hendro Juwono MSi, dan merupakan salah satu cendekiawan terpandang dan guru besar ke-212 di kampus ITS Surabaya.
BBM yang diciptakan oleh Hendro Juwono diketahui berbahan plastik dan kelapa sawit, tepatnya minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan minyak jelantah atau used cooking oil (UCO) yang merupakan limbah dari minyak goreng berbahan kelapa sawit. Awal proses penciptaan BBM itu karena didasari atas kekhawatiran Hendro Juwono yang melihat meningkatnya jumlah penggunaan plastik di masyarakat dan menciptakan berbagai masalah lingkungan tersendiri.
Mengatasi hal tersebut, Prof Dr Hendro Juwono MSi meneliti tentang degradasi plastik dengan biomassa menjadi biofuel sebagai solusi masalah lingkungan dan energi. Profesor dari Fakultas Sains dan Analitika Data (FSAD) ITS yang berfokus pada bidang polimer dan degradasi plastik ini menjelaskan bahwa sumber polimer dibagi menjadi dua yaitu polimer alam dan sintetis. Polimer alam memiliki sifat yang mudah terdegradasi dan terurai kembali ke alam.
“Polimer alam itu seperti karet, protein, tepung, dan kolagen,” ujarnya.
Berbanding terbalik dengan sifat polimer alam, polimer sintetis sulit terdegradasi dan terurai kembali ke alam. Contoh polimer sintetis yaitu polietilen, polipropilen, dan polistiren sebagai bahan baku plastik. Plastik merupakan turunan dari bahan tak terbarukan karena senyawa yang dimiliki oleh plastik memiliki kesamaan dengan senyawa bahan bakar, seperti minyak bumi dan gas.
Melihat hal tersebut, Profesor dari Departemen Kimia ITS tersebut melakukan penelitian dengan metode pirolisis terhadap polimer plastik yang mudah terdegradasi. Dalam penelitiannya, plastik yang telah diolah tersebut diuji dan menunjukkan angka RON-nya mencapai nilai 98 hingga 102.
“Angka RON yang muncul menunjukkan kualitas lebih bagus daripada bahan bakar yang sekarang beredar di masyarakat,” terang Hendro Juwono.
Meskipun angka RON menunjukkan kualitas bagus, tetapi masih ada kekurangan. Untuk membuat limbah plastik menjadi gasoline memerlukan suhu sebesar 400 derajat celsius. Kata dia, di dalam membuat suhu itu memerlukan tegangan listrik yang cukup besar. Sedangkan untuk biomasa sendiri seperti minyak nyamplung, CPO, dan UCO hanya memerlukan suhu sebesar 250 derajat celcius.
Untuk menghemat proses biaya, Hendro mencampurkan biomassa nyamplung, UCO dan CPO tersebut dengan limbah plastik. Ketika biomassa nyamplung, CPO, dan UCO dicampurkan dengan limbah plastik, dalam prosesnya suhu yang diperlukan hanya sebesar 300 derajat celsius.
Selain untuk menghemat pengeluaran yang besar, bahan yang dibutuhkan juga lebih murah dan mudah didapatkan. Melalui serangkaian penelitian untuk orasi ilmiah dalam pengukuhannya sebagai Profesor ITS, Hendro menuturkan bahwa penelitian yang ia lakukan turut membantu pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs) poin 7 dan 12. Hendro Juwono berharap riset yang dilakukan dapat membantu penyelesaian masalah lingkungan dan energi.
“Penelitian ini memerlukan kesabaran dan waktu yang cukup lama,” tegas Prof Dr Hendro Juwono MSi.