Jakarta, Mediaperkebunan.id
Sahat Sinaga Direktur Eksekutif GIMNI ( Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia) menyatakan teknologi pengolahan TBS sekarang emisi dan biayanya relatif tinggi. Karena itu Sahat mempekenalkan teknologi baru pengolahan kelapa sawit yang dapat menurunkan emisi karbon sampai 79% dan biaya pengolahan lebih murh 25-28%.
Minyak kelapa sawit yang ada sekarang adalah hasil dari teknologi tahun 1820 yang memandang sawit hanya sebagai minyak. “Waktu itu Inggris minta minyak sawit dari Afrika sebagai pengganti lemak binatang dan lemak ikan yang semakin habis,” kata Sahat Sinaga.
Jadi bagi mereka sawit adalah lemak. Padahal Tuhan sudah memberikan kelapa sawit sebagai satu-satunya minyak nabati yang paling kaya nutrisi. Karena itu sawit harus diredefinisikan ulang lagi, buka sekedar penghasil lemak tetapi yang paling penting nutrisinya.
“Dalam World Palm Oil Conference di Kuala Lumpur yang diselenggarakan MPOB saya bertanya Are You Know Palm Oil . We think know but nothing. Kaget semua orang,” katanya.
“Jadi sebagai produsen sawit seolah-olah kita tahu benar soal sawit tetapi kenyataanya tidak tahu apa-apa. Buktinya sawit masih diolah saja jadi minyak tetapi nutrisinya dibuang. Untung Tuhan tidak marah sama kita karena sudah membuang unsur yang sangat penting ini,” kata Sahat lagi.
Karena itu Sahat mau mengolah sawit dengan cara baru. Tidak lagi dengan cara sekarang yaitu proses basah. TBS direbus atau sterilisasi tiga tahap. Tahap 1 suhu 1400 C dengan tekanan 1 bar selama 30 menit. Tahap 2 prosesnya sama tekanan jadi 2,1 bar. Tahap 3 tekanan ditambah jad 3,3 bar.
“Pada suhu 800 C beta karoten rusak, apalagi 1400 C tiga kali, apalagi yang diharapkan jelas beta karoten sudah tidak ada. Saya juga tidak mengerti dengan minyak goreng merah karena pada suhu tinggi ketika menggoreng beta karotennya juga rusak,” kata Sahat.
Hasil pengujian menunjukkan dari 100 gr beta karoten dalam minyak goreng merah ketika dipakai menggoreng ayam hanya tersisa 15 gr. Jadi minyak goreng merah juga bukan jawaban mendapat nutrisi sawit.
Pengolahan supaya menjadi nutrisi sawit adalah pengolahan kering dan minyak yang dihasilkan tidak untuk menggoreng. Minyak ini bisa dipakai menumis, atau masukkan dalam sop hangat, bahan baku pembuatan kue, atau untuk salad.
Pengolahan kering (dry process) diolah dalam pabrik minyak sawit tanpa uap (PMTU). Teknologinya dikenal dengan nama Steamless Palm Oil Technology and Impurities Removal Unit dengan produk Superior Palm Oil (SPO) karena kandungan beta karoten yang tinggi.
“Mill tidak besar , sekitar 3.000 ha untuk satu pabrik dengan kapasitas 10 ton TBS/jam. Sudah dibangun satu pabrik sebagai uji coba dengan biaya Rp40 miliar. Sudah ada kerjasama dengan satu pengusaha besar untuk membangun pabrik ini dimana-mana dengan koperasi petani,” katanya.
Biaya pembangunan pabrik dari pengusaha ini dan koperasi petani mendapat saham 10%. Seiring dengan penjualan TBS ke pabrik ini maka secara berangsur-angsur saham koperasi petani naik sehingga bisa menjadi mayoritas.
Harga TBS ke pabrik ini akan jauh melebihi harga penetapan dinas perkebunan setempat karena harga produknya juga jauh lebih tinnggi dari harga CPO. Maret tahun ini diharapkan pabrik percontohan sudah operasional.
Pabrik ini revolusioner sebab merombak PKS yang berkiblat pada Eropa yang fokus pada trigliserida atau lemak yang mengabaikan nutrisi menjadi pabrik yang menghasilkan nutrisi sawit. Pabrik ini tidak menghasilkan POME sehingga emisinya turun 79%, rendemennya lebih tinggi 2% karena tandan kosong tidak diolah, secara keseluruhan biaya produksinya lebih rendah 25-28%.
“Pabrik ini menarik peserta dari Kongo, Pantai Gading dan Nigeria. Bulan Maret ketika pabrik sudah beroperasi mereka akan datang melihatnya. Padahal insipirasi pabrik ini berasal dari percakapan dengan orang Afrika di Indonesia,” katanya.