JAKARTA, mediaperkebunan.id – Seminar nasional bertemakan “Percepatan Pemanfaatan Gas Metana di Pabrik Kelapa Sawit” baru saja digelar oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada hari Rabu (31/01). Tak hanya para pelaku bisnis sawit, pemanfaatan gas metana sebagai sumber energi baru dibahas bersama beberapa pihak pemangku kepentingan.
Bicara soal gas metana sebagai energi terbarukan dari berbagai sisi, GAPKI undang tiga pemangku kepentingan sebagai narasumber, yaitu dari pihak pemerintahan, regulator, dan praktisi. Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) dan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hadir sebagai pihak dari pemerintahan, kemudian Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan turut memaparkan materi sebagai pihak regulator.
Lalu, kondisi sebenarnya di lapangan dipaparkan oleh para praktisi pengolah kelapa sawit lengkap dengan perwakilan dari GAPKI sebagai aktivis laingkungan. Masing-masing pihak tentu punya pandangan berbeda mengenai pemanfaatan gas metana sebagai sumber energi baru.
Dedi sebagai perwakilan dari Direktur Jenderal Perkebunan Kementan mengatakan bahwa luas tutupan kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,38 juta ha menurut Kepmentan nomor 833 tahun 2019. Namun, dalam pernyataannya Dedi mengatakan bahwapada tahun 2023 sudah meningkat menjadi 17, 23 juta ha.
Dari luasnya lahan tutupan kelapa sawit tersebut, perkebunan rakyat menyumbang sebesar 42 persen, swasta 53 persen, dan BUMN atau pemerintah 5 persen. Kelayakan atas perkebunan rakyat disebut jadi yang paling diutaman oleh pemerintah saat ini karena memerlukan perhatian khusus.
Lalu, perwakilan dari PPKS Medan, M. Ansori menjelaskan beberapa faktor kunci biogas yang dapat menjamin pemanfaatan yang 50 persen di dalamnya adalah mills, teridiri dari ketel uap, cangkang sawit, dan limbah cair kelapa sawit (POME). Dua praktisi pun menjelaskan soal pemanfaatan BIO-CNG pada perkebunan kelapa sawit.
Namun, bagaimana nilai ekonomi dalam pemanfaatan gas metana sebagai sumber energi baru?
Menurut Pengamat Lingkungan, Petrus Gunarso, potensi ekonomi pada gas metana dari hasil POME bisa besar dan kecil, bergantung pada kemauan bersama, bukan pemerintah dan pengusaha semata, tetapi kepedulian bersama atas data dan realita.
Nilai ekonomi pemanfaatan metana bergantung pada kebijakan energy mixed dan percepatan penerapan NEK sector energi. Bagi perusahaan-perusahaan yang telah go public , misalnya TBK, engurangan emisi GHG seringkali merupakan prasarat mendapatkan sertifikasi keberlanjutan/sustainability.
Pemerintah telah menetapkan pengampu metana, yaitu Ditjen EBTKE tetapi apabila dilakuakan pencampuran energi (enery mixed), misalnya dengan diinjeksikan ke dalam pipa gas alam,maka perlu koordinasi antara EBTKE dan Ditjen Migas.
“Percepatan koordinasi ke dua Ditjen ini akan mempercepat ketertarikan dunia usaha untuk melakukan impelemtasi pembangunan methane capture dan pemanfaatannya, terutama daam mengurangi emisi bukan dari hasil finansial gas metananya,” ujar Petrus.
Koordinasi antara Kementerian LHK, khususnya yang menangani sampah dan limbah dengan Kementerian ESDM baik EBTKE maupun migas dalam pengimplementasian NEK/Perubahan Iklim dan pencapaian target NDC sector energi jadi penentu utama bagaimana nilai ekonomi dalam pemanfaatan metana di sektor sawit.
Diskusi percepatan pemanfaatan gas metana dari limbah sawit yang diadakan oleh GAPKI mendapat dukungan karena merupakan langkah awal untuk mendapatkan pemahaman bersama antara pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen.