2nd T-POMI
2024, 3 Mei
Share berita:

Bandung, Mediaperkebunan.id – Perkebunan sawit yang teridentifikasi dimasukkan dalam kawasan hutan seluas 3,4 juta ha (sudah tertanam, punya perizinan dan HGU) dapat berdampak pada penurunan luas areal dan produksi sawit. Satrija BW, Wakil Ketua Umum III GAPKI menyatakan tentang penyelesaian sawit dalam kawasan hutan.

Sampai 2 November 2022 progres pencapaian lahan sawit dalam kawasan hutan adalah SK Datin 1-15 jumlah subjek hukum 3.687, jumlah perkebunan sawit 1.,679 dengan luas lahan indikatif 1,263 juta ha, jumlah perusahaan 1.263 dengan luas indikatif 1,47 juta ha.

SK Datin 1-18 jumlah subjek hukum 5.096 bertambah 1.1409;  jumlah perkebunan sawit 2.887 dengan luas indikatif 2,45 juta ha, bertambah 1.208 dan luas 776.467 ha; jumlah perusahaan 2.128 dengan luas indikatif 2,17 juta ha, bertambah 865 dengan luas 701.559 ha.

Dari 18 SK MenLHK terdapat 569 anggota GAPKI dengan luasan 810.425 ha (baik masuk kategori 110 A maupun 110 B). Berdasarkan hasil verifikasi Satgas telah dikeluarkan invoice tagihan pada 31 Desember 2023 untuk kategori kebun masuk kategori 110 A sebanyak 365 subjek hukum dengan luas 600.000 ha. Sedang kategori 110 B akan dikeluarkan pertengahan 2024. Perusahaan diperkenankan mengajukan banding terkait pengenaan besaran nilai denda yang masuk kategori 110 A maupun 110 B.

Kategori pasal  110 A UUCK adalah yaitu kegiatan usaha sudah terbangun, memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha dibidang perkebunan yang sesuai tata ruang yang diterbitkan pejabat yang  berwenang (IUP/STDB). Sedang kategori 110 B yaitu tanpa izin/tidak sah, dilakukan sebelum UUCK terbit, kegiatan usaha di dalam kawasan hutan.

Usulan penyelesaian adalah biaya denda yang dikenakan pada perusahaan masih sangat tinggi baik masuk kategori 110 A maupun 110 B. Lahan perkebunan yang sudah mendapatkan HGU , masih diminta mengurus rekomendasi gubernur untuk mendapatkan ijin pelepasan kawasan, sehingga memerlukan waktu dan tambahan biaya.

Baca Juga:  Perkebunan Turut Mambantu Pajale

Implementasi pasal 4 (1) PP 24 tahun 2021 (adanya persyaratan tambahan sesuai tata ruang) sangat memberatkan. Lahan HGU yang memiliki izin lokasi, IUP yang seharusnya mengikuti penyelesaian pasal pasal 110 A (mendapatkan pelepasan kawasan hutan), dimasukkan dalam penyelesaian menurut pasal 110 B dengan membayar denda lebih mahal dan harus mengembalikan sebagai kawasan hutan setelah 1 siklus.

Seharusnya perusahaan yang sudah memiliki HGU sudah final, karena dalam prosesnya sudah melibatkan semua institusi terkait dan mempertimbangkan tata ruang yang ada. Satgas peningkatan tata kelola industri sawit diharapkan sebagai wasit dalam penyelesaian masalah yang dihadapi industri sawit.

Dampak kalau tidak segera diselesaikan masalah kebun sawit dalam kawasan hutan adalah program PSR tidak mencapai target ; harus ada kepastian bahwa SHM dan HGU adalah final. Kalau tidak kredibilitas dimata publik turun karena tidak ada kepastian hukum; target peningkatan produksi dan ekspor serta pemenuhan target program bioenergi dalam rangka Indonesia emas 2045 tidak akan tercapai. Penyebabnya ada pengurangan areal sawit untuk kawasan lindung dan konservasi , hanya satu daur/15 tahun, kemudian dikembalikan ke areal hutan.

GAPKI terus mengusulkan bahwa bagi kebun sawit yang sudah memiliki alas hak baik itu SHM maupun sertifikat HGU semestinya bukan kawasan hutan lagi. Penyelesaian pasal 110 B jangan sampai menyebabkan pengurangan areal yang signifikan yang akan berdampak kepada pegurangan sawit.