Jakarta, mediaperkebunan.id – Tantangan pabrik gula berbasis tebu merupakan suatu hal yang memerlukan perhatian khusus. Tulisan ini merupakan kelanjutan dari artikel Merajut Ulang Kemandirian Pergulaan Nasional (1) yang merupakan hasil dari buah pikir Gabungan Produsen Gula Indonesia (GAPGINDO).
Sebelumnya, GAPGINDO telah memaparkan bagaimana kondisi industri gula Indonesia. Kini, saatnya membahas tantangan industri gula Indonesia dan peran pemerintah dalam membangun ekosistem yang kondusif. Berikut selengkapnya.
Tantangan Pabrik Gula Berbasis Tebu
Selain pabrik gula BUMN, pabrik gula swasta pun memiliki peran dalam memasok gula untuk kebutuhan nasional. Bahkan sejumlah pabrik gula swasta baru tak segan menggelontorkan investasi besar dengan memanfaatkan teknologi dan mesin-mesin modern dan kekinian. Pabrik-pabrik baru milik swasta ini tersebar di Jawa dan luar Jawa.
Namun untuk percepatan pengembangan industri gula dalam negeri, masih membutuhkan suntikan investasi baru. Maka, perhatian perlu mengarah pada sejumlah tantangan yang masih mengadang.
a. Peningkatan Produksi Tebu
Pada poin ini, tantangannya adalah pembibitan tebu dan pupuk. Petani yang menjadi mitra pabrik gula mengalami kesulitan untuk mendapatkan bibit tebu yang berkualitas dan bersertifikat seperti yang dianjurkan Pemerintah. Petani akhirnya menggunakan bibit dari sumber tidak jelas sehingga dikhawatirkan produksi dan produktivitas tebu tidak akan sesuai harapan.
Poin lain adalah sulitnya memperoleh pupuk yang sesuai untuk tebu. Ladang tebu membutuhkan pupuk yang berbeda dengan pupuk di pasaran yang umumnya untuk padi dan jagung. Formula pupuk untuk tebu memerlukan Kalium yang lebih tinggi. Unsur Kalium ini motor pembentukan sukrosa penentu kandungan kadar gula pada tebu.
Prosedur penyaluran pupuk juga tidak mudah, sehingga menghambat pemupukan. Akibatnya, tebu yang tumbuh berkualitas rendah, yang berimbas pada produktivitas tebu dan rendemen gula yang rendah.
b. Fasilitas Sarana dan Prasarana Infrastruktur Fisik

Untuk poin ini terdiri dari tiga hal, yaitu infrastruktur jalan daerah, alat dan mesin pertanian (alsintan), dan sistem pembelian tebu. Pabrik gula baru berbasis tebu yang berlokasi di daerah terpencil kerap terkendala infrastruktur fisik seperti jalan dan jembatan yang terbatas dan tidak memadai.
Peran infrastruktur ini juga menyangkut nasib para petani tebu yang terlibat. Mereka membutuhkan moda transportasi yang memadai untuk dapat mengantarkan tebu ke pabrik gula tepat waktu dan dengan kuantitas yang efisien. Alasannya, tebu yang telah ditebang memilki batas waktu tertentu untuk segera diolah agar hasilnya maksimal dan menghasilkan gula berkualitas prima.
Salah satu pabrik gula mengakui, infrastruktur mampu menghambat pasokan. Bahkan data menunjukkan, mulai 2021 kondisi jalan yang tidak memadai mengakibatkan penurunan pasokan tebu dari petani.
Tak hanya itu, proses operasional pabrik gula tentu membutuhkan layanan transportasi yang mumpuni. Proses itu mulai dari penerimaan tebu dari petani, proses produksi, proses perawatan alat, hingga ke distribusi hasil akhir memerlukan infrastruktur yang memadai. Tanpa infrastruktur memadai, pengeluaran gula terhambat, sehingga berpotensi menghambat distribusi dan pada akhirnya akan mengganggu stok gula di pasar.
Dalam kondisi tertentu, perusahaan gula bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak. Namun, dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menurunkan minat investasi di industri gula.
Sejumlah pabrik gula bahkan berdiri di wilayah yang masuk ke dalam kategori kantong kemiskinan. Keberadaan pabrik gula baru di lokasi tersebut memiliki dampak ekonomi karena kegiatan perusahaan menyerap tenaga kerja yang berasal dari masyarakat sekitar.
Namun, dampak ekonomi ini belum maksimal karena proses produksi masih terkendala fasilitas infrastruktur yang tidak memadai. Kapasitas produksi belum optimal, mengakibatkan:
- Inefisiensi produksi dan operasional, baik pada pabrik maupun mitra petani pemasok tebu,
- Kapasitas giling maksimal sulit untuk dicapai
- Ketidakpastian usaha dan biaya tinggi, baik dari aspek teknis maupun sosial.
Jika abai pada kondisi ini, berpotensi megatif terhadap kepastian usaha baik bagi investor yang sudah terlanjur berinvestasi maupun terhadap minat calon investor yang akan datang. Hal ini tidak saja merugikan secara nasional maupun juga pada perusahaan, serta masyarakat sekitar yang telah terlibat dalam proses perekonomian.
Tak hanya sekedar perbaikan kualitas jalan, pemerintah juga hendaknya dapat meningkatkan kelas jalan dan jembatan terutama di lokasi-lokasi pabrik yang amat membutuhkan. Peningkatan kelas jalan ini mendapat keyakinan mampu mendukung pengembangan investasi lebih baik dan memberi dampak signifikan pada ekosistem perekonomian wilayah, perusahaan dan masyarakat sekitar.
Peningkatan produksi juga berdampak pada pendapatan perusahaan, sehingga nilai CSR pun meningkat. Kemitraan perusahaan dengan masyarakat sekitar meningkat, termasuk dengan UMKM setempat.
Poin lainnya adalah alat dan mesin pertanian (alsintan) terutama alat mesin olah tanam panen dan angkut tebu yang belum mengikuti kebutuhan di lapangan. Tidak semua ladang tebu berada di lokasi basis tebu tradisional yang telah dikenal selama ini, seperti di Jawa. Sejumlah perusahaan baru dengan memanfaatkan kemajuan teknologi budidaya kekinian bahkan memiliki pabrik gula di lahan yang kering ekstrem, berbatu dan rawa. Namun, belum ada alsintan dalam negeri yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.
Berikutnya adalah poin sistem pembelian gula/tebu. Selama ini terutama di Jawa pola kemitraan antara pabrik gula dan petani tebu menerapkan pola bagi hasil produksi gula, dengan pembagian hasil 60-70 persen untuk petani dan 40 – 30 persen pabrik gula.
Kekisruhan sering terjadi antara petani dan pabrik gula, karena perselisihan soal perhitungan rendemen dan rantai penjualan yang panjang menyulitkan petani menjual langsung produk gulanya. Petani juga tidak dapat langsung mendapatkan hasil panen tebunya karena harus menunggu proses panjang hingga distributor membeli gula tersebut.
Umumnya, petani baru menerima uang hasil panennya, setelah selesai musim tanam. Akibatnya, saat petani akan mulai menanam tebunya, mereka tidak mempunyai dana untuk biaya bongkar ratoon, membeli pupuk, dan bibit serta biaya-biaya lainnya termasuk tenaga kerja.
Akibatnya, alur pengelolaan ladang terhambat dan tidak sesuai standar terbaik. Kendala-kendala yang tersebut, juga menurunkan minat petani untuk menanam tebu. Tak heran jika luas areal tanaman tebu di Jawa terus menyusut, sejalan dengan yang Indonesia hadapi saat ini.
Indonesia dapat melakukan salah satu terobosan, yaitu mengubah sistem pembelian dari bagi hasil menjadi sistem beli putus tebu. Sistem ini memungkinkan penetapan harga tebu berdasarkan bobot, kebersihan dan kesegaran tebu secara transparan dengan sistem pembayaran langsung ke rekening petani.
Harga tebu per kg minimal mengacu pada harga yang Pemerintah tetapkan. Namun, realisasinya di lapangan, rata-rata harga tebu per kg yang petani terima 10 persen hingga 15 persen di atas harga yang ditetapkan Pemerintah.
Dengan sistem beli putus, maka memungkinkan petani memiliki modal tepat waktu pada saat mereka akan mengolah kembali ladang tebunya secara maksimal. Proses ini terbukti meningkatkan produktivitas lahan dan juga minat petani untuk menanam tebu.
c. Mengulik Kebijakan Pemerintah soal Gula

Himbauan Presiden untuk swasembada gula diterjemahkan ke dalam kebijakan teknis kementerian-kementerian terkait. Namun, sejumlah perubahan kebijakan yang terkadang mengoreksi kebijakan sebelumnya yang tidak tepat waktu dan tanpa berdasar pengkajian yang mendalam menjadi salah satu tantangan dan membuat frustasi produsen gula.
Kita sepakat dan kenyataan di lapangan selain pabrik gula BUMN, pabrik gula swasta berbasis tebu juga aset bangsa yang kontribusinya terhadap produksi gula nasional sermakin signifikan bahkan sudah melampaui pabrik gula lingkup BUMN.
Kebijakan Pemerintah yang sesuai kebutuhan yaitu mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi semua pelaku tersebut. Kebijakan Insentif harus melalui pengkajian yang mendalam dan komprehensif, sehingga sesuai dengan yang kebutuhan dan secara konkrit bisa pelaku gula terapkan, serta konsisten benar-benar dalam pelaksanaannya di lapangan. Pemberlakuan ‘Reward dan punisment secara “equal”, transparan dan obyektif.
d. Peluang: Menyulap Rawa dan Tanah Tandus
Tahun 2023 ditandai dengan tingginya harga gula internasional. Laporan indeks harga pangan Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat harga gula dunia pada April lalu naik 17,6 persen dari periode sebelumnya year on year.
Kenaikan harga gula ini berasal dari kekhawatiran berkurangnya pasokan gula dunia setelah prediksi produksi dari India dan Cina turun. Produksi gula di Thailand dan Uni Eropa juga lebih rendah dari yang perkiraan sebelumnya.
Kenaikan harga gula kali ini berbagai negara rasakan. Di Korea Selatan harga gula di sana pada tahun 2023 tersebut mencapai angka tertingginya dalam 11 tahun, sehingga kenaikan ini melahirkan istilah baru, yaitu sugarflation.
Terjadinya kelangkaan produksi gula di berbagai negara produsen utama dunia menjadi momentum bagi industri gula berbasis tebu di dalam negeri untuk meningkatkan produksi nasional guna memenuhi kebutuhan di pasar domestik.
Momentum ini harus direbut agar industri gula di dalam negeri tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan gula konsumsi (gula kristal putih atau GKP) di pasar domestik, tetapi juga mampu memproduksi dan memasok gula mentah (raw sugar) kepada industri Gula Kristal Rafinasi (GKR). Selama ini industri GKR sangat tergantung kepada pasokan gula mentah dari luar negeri.
Hal lain yang tak kalah penting adalah inovasi yang terus berkembang di industri gula nasional. Bahkan, inovasi ini tak kalah dari negara produsen gula dunia.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)6 menyebutkan, Indonesia memiliki lebih dari 34 juta hektare lahan rawa. Lahan rawa merupakan salah satu sumber daya lahan yang potensial untuk pertanian, terutama tanaman pangan.
Secara alamiah lahan rawa memiliki karakter dan fisik lahan yang tidak subur dan air yang sulit dikendalikan. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam menghasilkan teknologi pangan produktivitas lahan rawa.
Namun, Indonesia telah memiliki pabrik gula yang mampu menggarap lahan rawa menjadi ladang tebu. Pabrik gula milik swasta di Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan sudah melakukan hal tersebut. Meski menghadapi tantangan, namun perusahaan tersebut membuktikan menyulap rawa menjadi ladang tebu adalah hal yang mungkin, berkat inovasi teknologi budidaya.
Pencapaian lainnya adalah mengelola lahan tandus berbatu. Berkat sejumlah inovasi termasuk drip irrigation, sebuah perusahaan gula swasta di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), dapat menyulap lahan tandus berbatu menjadi hamparan ladang tebu.
Peran Pemerintah Menciptakan Ekosistem yang Kondusif
Industri gula nasional adalah aset bangsa untuk bersama-sama mewujudkan swasembada gula nasional. Mejaga pabrik gula BUMN dan swasta merupakan keharusan karena kelangsungannya berhubungan dengan ekosistem yang kondusif. Untuk itu, dukungan Pemerintah amatlah penting.
Untuk menjaga kelangsungan existing investor agar bertahan, Pemerintah perlu memprioritaskan penyelesaian kendala kronis keterbatasan prasarana infrastruktur jalan dan jembatan. Dukungan infrastuktur memadai akan memaksimalkan kapasitas produksi terpasang mereka, sekaligus memudahkan petani pemasok tebu.
Kemudian industri pergulaan Indonesia memerlukan dukungan Pemerintah juga dengan menciptakan iklim industri pergulaan yang kondusif, konsisten, transparan, dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Melakukan hal tersebut dengan menerbitkan berbagai regulasi yang mendukung, termasuk menyediakan berbagai insentif produktif dan dibutuhkan pelaku usaha.
Tingkat petani dan perusahaan memerlukan payung hukum yang menaungi sistem pembelian tebu antara kedua pihak. Salah satu mekanisme yang juga menguntungkan kedua pihak adalah sistem beli putus. Untuk itu payung hukum tentang sistem beli putus ini, dari Surat Edaran Direktur Jenderal Perkebunan – Kementerian Pertanian sebaiknya meningkat menjadi Surat Keputusan Menteri Pertanian.
Indonesia juga telah berhasil membangun sistem perbenihan padi dan jagung nasional. Sistem ini menunjukkan kemampuan dan potensi Indonesia untuk merambah pula sistem perbibitan tebu nasional. Dengan percepatan sistem pembibitan, maka menghasilkan tebu yang tentu akan berkualitas tinggi, sehingga mampu menghasilkan gula berkualitas prima. Maka, swasembada gula nasional akan menjadi keniscayaan.