Jakarta, mediaperkebunan.id – Masuk ke bahasan sisi mikro pabrik gula di Jawa dan luar Jawa, sampailah kita ke babak akhir dari gagasan Gabungan Produsen Gula Indonesia (GAPGINDO) bertajuk “Merajut Ulang Kemandirian Pergulaan Nasional: ‘Kini Saatnya; atau Tidak Akan Pernah Lagi'”. Bagia pertama dan kedua telah kami unggah sebelumnya.
Pulau Jawa telah menjadi sentra industri gula sejak zaman kolonial. Provinsi Jawa Timur (Jatim) bahkan tercatat sebagai provinsi dengan produksi gula dan tebu tertinggi nasional. Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) RI tahun 2022, produksi gula di Jatim mencapai 49,55 persen dari produksi nasional. Artinya, Jatim menyumbang hampir 1,2 juta ton gula dari total produksi gula nasional sebanyak 2,4 juta ton.
Posisi Jatim ini menjadi menarik untuk dibahas dalam skala mikro. Menghadapi tantangan dan peluang yang ada di Jatim dapat menjadi agenda pembenahan sekaligus percontohan bagi provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Dalam tiga-empat tahun terakhir, industri gula nasional kedatangan sejumlah pemain baru. Para pemain baru ini antara lain pabrik gula yang dikelola swasta, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Bahkan ada pula pabrik gula lama yang kini berkembang dengan teknologi modern, tak kalah dengan pabrik gula baru.
Semua itu menyajikan dinamika yang menarik dan energi positif bagi industri pergulaan Indonesia. Namun, di balik peluang itu ada sejumlah tantangan seperti yang ada di tinjauan makro. Kemudian, bagian ini memotret sisi mikro sejumlah pabrik gula di Jawa dan juga di luar Jawa.
Bibit dan Pupuk
Masalah makro soal bibit dan pupuk menjadi salah satu sisi yang tercermin dalam studi kasus di pabrik gula yang ada di Jawa Timur.
Keterbatasan bibit unggul tebu ini membutuhkan campur tangan Pemerintah. Dalam hal ini, Pemerintah perlu mempermudah mempercepat prosedur atau proses pengujian dan pelepasan benih bibit varietas tebu unggul. Varietas unggul ini dapat dihasilkan lembaga penelitian Pemerintah seperti P3GI, Balittas Kementerian Pertanian, swasta, maupun para petani inovator.
Berdasarkan pengalaman empiris, salah satu tantangan lain yang dihadapi pabrik gula di Jawa adalah belum adanya formula pupuk khusus tebu. Selama ini lahan-lahan tebu masih menggunakan formula pupuk dengan formula Kalium yang kurang memadai. Padahal, untuk bisa memproduksi sukrosa yang tinggi, komposisi pupuk untuk tebu membutuhkan kandungan kalium yang memadai.
Untuk mengatasi hal ini, beberapa pabrik gula berinisiatif melakukan inovasi. Sebuah pabrik gula di Jawa Timur berhasil melakukan inovasi dengan menambahkan pupuk kalium klorida dengan menggunakan drone spray. Aplikasi ini mampu meningkatkan brix sekitar 2 hingga 4 poin.
Uniknya, kondisi lahan yang berbeda akan membutuhkan komposisi pupuk yang berbeda pula. Untuk itu, keahlian personel, inovasi, alat dan mesin pertanian yang memadai menjadi kunci. Namun, semua itu membutuhkan investasi yang besar. Maka, kolaborasi seluruh pemangku kepentingan baik Pemerintah dan swasta amatlah mendesak, demi memulihkan kemandirian gula nasional.

Kemitraan, Kunci Makmur Bersama
Pabrik-pabrik gula terutama milik swasta di Jawa umumnya menjalin kemitraan dengan para petani tebu. Bahkan salah satu pabrik gula baru milik swasta menyebutkan, target pola kemitraan yang terus meningkat.
Data menunjukkan, kemitraan pada awal tahun produksi (2019) dilakukan dengan sekitar 300 petani. Angka ini terus meningkat dari tahun ke tahun, sehingga pada 2023, perusahaan membidik kemitraan menjadi 1.500 petani. Dan ini diyakini akan terus meningkatkan secara signifikan, apabila didukung oleh berbagai kebijakan yang kondusif baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah setempat.
Pola kemitraan itu menunjukkan, keberadaan pabrik gula memiliki dampak positif bagi perekonomian warga sekitar dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Hal lainnya, keberadaan pabrik gula juga menyerap tenaga kerja tetap dan musiman yang berasal dari warga sekitar pabrik. Terlebih saat musim giling, tenaga kerja musiman yang pun meningkat secara signifikan.
Sementara pola kemitraan antara pabrik gula dan petani pun membentuk sinergi unik. Tak hanya terbatas pada jual beli tebu, perusahaan-perusahaan gula yang modern umumnya juga melakukan transfer pengetahuan dan berbagai teknologi terapan kepada para petani mitranya.
Proses transfer pengetahuan itu dilakukan antara lain dengan melakukan sosialisasi peningkatan produktivitas tebu, praktik budi daya tanam tebu, hingga sosialisasi tentang pupuk berimbang untuk tebu, serta pengenalan dan penerapan teknologi pertanian presisi untuk tebu. Bahkan ada perusahaan yang tak segan memberi kesempatan kepada tim on farm dan petani mitranya untuk melakukan studi banding ke negara produsen tebu tetangga.
Kemitraan ini menjadi penting dan berdampak besar. Perusahaan yang berkembang dan maju akan mampu pula mengangkat derajat perekonomian warga sekitar. Mereka akan maju bersama, sejahtera bersama.
Maka industri gula amat layak mendapat dukungan Pemerintah. Para investor pun akan merasakan semakin nyaman apabila semakin mendapat dukungan kebijakan Pemerintah yang transparan, konsisten, dan berkelanjutan dalam jangka Panjang yang pada gilirannya tentunya akan berdampak positif pada semakin menguatnya keyakinan investor memperkuat kepastian dalam membenamkan investasinya di sektor ini.
Penutup dari GAPGINDO

Pasar pangan dunia menyajikan perubahan besar dalam beberapa dekade terakhir. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat, pada 2004, harga sebagian besar makanan pokok berupa biji-bijian mulai merangkak naik. Produksi yang meningkat ternyata tak mampu mengejar kebutuhan populasi dunia.
Lebih jauh, PBB mencatat bahwa negara-negara produsen dunia pun memutuskan untuk menahan ekspornya. Kondisi ini menyebabkan ancaman kelangkaan pasokan global yang mengkhawatirkan negara-negara yang menggantungkan diri pada impor. Hal ini terjadi pula pada komoditas gula.
Dalam pembukaan Rakornas Pengendalian Inflasi 2023 Presiden Joko Widodo telah menyebutkan, sekurangnya ada 19 negara di dunia yang mulai membatasi ekspor pangannya pada 2023 ini. Tujuannya untuk mengamankan stok dan menyelamatkan warganya dari dampak El Nino.
Menurut Presiden, gula termasuk daftar komoditas pangan yang ekspornya memiliki batasan dari negara-negara produsen dunia. Sementara itu, International Sugar Organization (ISO) menyebutkan, pasar gula Indonesia memiliki konsumsi yang tumbuh meningkat pesat, sementara produksi lokal yang stagnan dan impor yang terus naik. Menurut ISO, kondisi itu membuat Indonesia menjadi importir besar untuk raw sugar.
Perpaduan tantangan antara semua itu membutuhkan jawaban yang solid, yaitu kebulatan tekad untuk swasembada gula. Jika dulu bisa, mengapa sekarang tidak?
Ketergantungan pada impor membuat Indonesia terancam digonjang-ganjing oleh dinamika pasar global. Kondisi ini menciptakan lubang-lubang ancaman keamanan pangan bagi Indonesia. Para pakar keamanan dunia menyebut ancaman pangan bagian dari non-traditional threats, atau ancaman jenis baru yang sasarannya mengenai populasi, terutama mereka yang berekonomi lemah.
Dengan wewenang yang demikian luas, Pemerintah tentu memiliki kekuatan untuk menggerakkan seluruh elemen bangsa termasuk di industri pergulaan untuk mewujudkan swasembada gula dan produk pangan lain.
Bangsa Indonesia memerlukan kekuatan seperti itu untuk bangkit, setapak demi setapak menggenggam posisi penting di pentas dunia. Apalagi, saat ini Indonesia adalah kekuatan middle power dunia. Langkah positifnya akan menjadi sorotan yang mampu menginspirasi negara-negara lain.
Kami amat yakin, inilah saatnya Indonesia merajut kemandirian pergulaan nasional. Jika tidak, kita akan kehilangan mometum yang entah kapan akan datang lagi. Kini saatnya, atau tidak akan pernah lagi. (Syukur Iwantoro-Ketua Umum Gabungan Produsen Gula Indonesia/GAPGINDO)