2nd T-POMI
2024, 20 Mei
Share berita:

Ketua Gabungan Produsen Gula Indonesia (GAPGINDO), Syukur Iwantoro mengungkapkan bahwa GAPGINDO optimis kalau Indonesia dapat mencapai swasembada gula 2030, namun diperlukan pembenahan pada simpul-simpul kritis. Simpul kritis tersebut terdiri dari sumber daya manusia (SDM), bibit, pupuk, alsintan yang presisi, dan permodalan bagi petani. Apabila hal ini dapat terpenuhi, maka tidak terlalu dibutuhkan perluasan lahan untuk mencapai swasembada gula 2030. 

“Swasembada gula 2030 saya optimis, namun butuh semua dukungan stakeholder. Harus dibenahi dulu simpul kritisnya, SDM, kemudian bibit, pupuk, alsintan yang presisi, dan permodalan bagi petani yang sesuai kan,” kata Syukur, Jumat (17/5/2024).

Saat ini sumber daya manusia di industri gula cenderung sulit untuk ditemukan seperti tenaga kerja, tenaga tanam, dan tenaga panen. Salah satu penyebabnya adalah dikarenakan saat ini kondisi petani tebu sudah tua dan belum ada generasi penerus yang baru. Penyebab kesulitan SDM lainnya adalah belum banyak sekolah vokasi di Indonesia yang dapat menghasilkan lulusan yang kompeten pada industri gula. 

Biasanya pelajaran yang diberikan di sekolah vokasi hanya seputar dasar-dasarnya saja sedangkan untuk terjun langsung membutuhkan pengetahuan dan pengalaman yang lebih dalam lagi. Oleh karena itu, GAPGINDO membuat kerja sama dengan sekolah-sekolah vokasi agar peserta didik mendapatkan pengetahuan dan pengalaman langsung di industri gula. Namun, hal ini tidak dapat dilakukan secara satu arah, dibutuhkan kerja sama dan dukungan antara pemerintah, perusahaan, dan perguruan tinggi.

“Nah ketika pabrik pabrik baru gula muncul nah ini ada masalah baru muncul yaitu sumber daya manusianya tidak siap. Ternyata sekolah sekolah vokasi yang menghasilkan lulusan di industri itu gak ada, cuman LPP dan itu hanya belajar mengenai dasarnya saja. Penyelesaiannya bagaimana? GAPGINDO akhirnya kerja sama dengan badan SDM, kami kerja sama dengan vokasi-vokasi itu. Namun butuh semua dukungan stakeholder, pemerintah, perguruan tinggi, yang serius gitu loh gak main main,” ujarnya.

Baca Juga:  REFLEKSI GAMAL NASIR :HARUS ADA KEBIJAKAN POLITIK TEGAS BERPIHAK PADA PETANI TEBU

Simpul kritis lainnya yang harus dibenahi adalah pengadaan bibit. Menurut Syukur untuk mendapatkan bibit induk maka membutuhkan waktu 8 tahun untuk dapat ditanam, hal ini sangatlah menganggu kelancaran produktivitas untuk mencapai Swasembada Gula 2030. Oleh sebab itu, dibutuhkan komunikasi dua arah dengan peneliti di bidangnya untuk dapat memunculkan inovasi dan teknologi baru mengenai bibit unggul yang dapat meningkatkan produktivitas tebu. 

“Bibit ini juga ada permasalahan lainnya, sudah tanam tapi bibitnya gak ada. Ternyata kalau ingin mendapatkan bibit induk maka harus menunggu 8 tahun lagi untuk dapat ditanam di pabrik. Waduh kalo hal ini gak bisa. Tapi akhirnya ada teknologi bibit terbaru. Nah ini karena ada komunikasi dua arah, dari sin ide-ide baru untuk mempercepat penanaman bibit,” ungkapnya.

Selain bibit, pupuk juga merupakan hal yang harus ditangani untuk mencapai swasembada gula. Kebanyakan pupuk yang digunakan petani saat ini adalah pupuk subsidi dengan kandungan kalium yang rendah. Pedahal, tanaman tebu membutuhkan pupuk dengan kandungan kalium yang tinggi untuk meningkatkan produktivitas. 

“Nah pupuk, petani suka menggunakan pupuk yang murah, yang bersubsidi. Pedahal tebu itu butuh pupuk yang mengandung banyak kalium. Nah pupuk yang biasa digunakan petani itu merupakan pupuk untuk padi dan jagung. Kalau dipakai petani tebu, ya sudah akan berakibat buruk untuk tanaman,” imbuhnya

Saat ini alsintan untuk menanam dan memanen tebu belum menggunakan mesin yang presisi sehingga hal ini merupakan salah satu simpul kritis yang harus ditangani pemerintah. Alsintan tebu harus dibuat dengan memperhatikan kondisi lahan dan agroekosistem setempat. Kalau tidak begitu, maka proses tanam dan panen tidak berjalan dengan efektif dan efisien sehingga mengganggu produktivitas panen tebu.

Baca Juga:  Industri Perkebunan untuk Pemerdekaan

Sebenarnya di Indonesia sudah tersedia inovasi prototipe presisi yang dapat dibuat di dalam negeri. Namun, hal ini membutuhkan dorongan dan dukungan finasial dari pemerintah Indonesia untuk dapat mewujudkannya. 

“Kemudian traktor, alat dan mesin gitu kan. Ternyata traktor harus unik  dan harus presisi menyesuaikan kondisi lahan. Kenapa kita sangat lambat dalam mengaplikasikan alat mesin di lahan? Ya karena kita digeneralisasikan semua kondisi lahan pakai satu jenis traktor. Ternyata ga bisa disamain begitu. Di sini prototipenya sudah tersedia tapi modalnya tidak ada. Alsinta dan prototipe seperti ini kan perlu, sudah seharusnya pemerintah membantu apabila ingin swasembada,” jelasnya.

Sistem permodalan petani juga harus dipikirkan karena untuk membantu operasional petani. Pemerintah sudah mempunyai kredit usaha baru yakni Kredit Usaha Arsin (KUA) dengan bunga hanya 3% karena sudah disubsidi pemerintah. Namun sistem permodalan ini masih belum dikomunikasikan dengan baik sehingga banyak petani yang belum mendengar kredit usaha ini.

“Perlu sistem permodalan yang sesuai dengan petani. Kemarin saya ketemu dengan bu Indah Megawati, direktur pembiayaan, saya diskusi dengan bu indah. Ternyata ada Kredit Usaha Arsin (KUA). Bunganya 6% disubsidi sama pemerintah jadi hanya berbunga sebanyak 3%. Agunannya pun dari alat itu sendiri sehingga KUA ini masih sangat bisa digunakan oleh petani. Pemerintah itu luar biasa ternyata sudah dipersiapkan cuman cara komunikasikannya aja belum baik,” katanya.

Intinya swasembada gulua 2030 dapat tercapai oleh Indonesia. Tetapi harus mengenali betul penyebab yang memperhambat negara ini untuk mencapai tujuan tersebut, salah satunya simpul kritis yang sudah dijabarkan di atas. Membutuhkan kerja sama, kerseriusan dan konsisten dalam mencapai swasembada gula 2030.

Baca Juga:  Wow, Produksi Gula Tahun 2016 Diprediksi Menurun

“Jadi intinya kita tidak mustahil untuk mewujudkan swasembada gula 2030, termasuk swasembada industri. Tapi kita harus tau betul apa sih penyebabnya kita tidak bisa swasembada. Kita tidak bisa swasembada konsumsi, industri itu kenapa solusinya apa. Jadi minimal itu yang harus dipenuhi, kita harus bergandengan tangan dengan pemerintah, swasta, asosiasi. Tidak rumit kok, hanya butuh keseriusan dan konsisten,” tutupnya.