Jakarta, Mediaperkebunan.id
Kebijakan pemerintah berkaitan dengan kelapa sawit harus mengutamakan kepentingan petani sebagai prioritas utama. Apapun kebijakan yang diambil seharusnya menguntungkan petani kelapa sawit yang jumlahnya diperkirakan 2,3 juta orang dengan pekerja mencapai 4,6 juta orang. Gamal Nasir, Pembina organisasi petani kelapa sawit ASPEKPIR dan POPSI menyatakan hal ini.
Kebijakan pemerintah akhir-akhir ini untuk menurunkan minyak goreng ternyata sama sekali tidak berpihak pada petani kelapa sawit. Dibukanya kembali ekspor CPO dan produk turunannya meskipun sudah berlangsung hampir 2 minggu ternyata tidak mengubah harga TBS seperti yang diinginkan petani.
“Petani kelapa sawit yang dimulai dengan PIR kemudian berkembang dengan petani swadaya merupakan pahlawan devisa. Sawit diawali dengan BUMN, kemudian perusahaan swasta kemudian pemerintah merancang supaya petani ikut budidaya lewat pola PIR. Saya waktu itu jadi pimpro proyek PIR tahu persis bagaimana perjuangan petani mengawali budidaya kelapa sawit, berat sekali,” kata Gamal.
Setelah petani plasma berhasil maka banyak petani lain yang tertarik, mereka nekad membuka kebun kelapa sawit secara mandiri. Dari sinilah timbul berbagai permasalahan seperti benih palsu, masuk kawasan hutan dan lain-lain. “Apapun yang terjadi petani punya peran menjadikan Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia dan penggerak ekonomi nasional dan daerah,” kata Gamal.
Kebijakan kembali diizinkannya ekspor CPO dan turunannya ternyata belum berpihak pada petani. Sebelum pelarangan ekspor harga penetapan CPO di Riau sebagai provinsi pemilik kebun sawit terbesar yang menjadi dasar penetapan harga TBS pada 20-26 April adalah Rp16.349/kg sehingga harga TBS 10-20 tahun Rp3.830/kg. Setelah ekspor dibuka harga CPO tanggal tanggal 25-31 Mei 2022 adalah Rp11.774,49/kg sehingga harga TBS umur 10-20 tahun Rp2.693,45/kg. Sedang untuk 1-7 Juni 2022 harga CPO Rp11.788,36/kg sedang sehingga harga TBS umur 10-20 tahun. Rp2.666,44. Harga CPO yang menjadi acuan berdasarkan harga rata-rata di PKS pada periode waktu sebelumnya.
“Kebijakan pemerintah ini mengisolasi harga CPO Indonesia dari harga internasional. Padahal harga CPO di bursa Malaysia pada April USD1,682/kg atau sekitar Rp24.265/kg. Saya dengar juga saat ini PKS non group perusahaan besar CPOnya hanya dibeli pada kisaran harga Rp11.000-12.000/kg, sehingga banyak yang menahan sampai tangkinya penuh, menunggu harga membaik,” kata Gamal.
Situasi ini jelas sangat berpengaruh pada petani. Petani merupakan mata rantai paling bawah yang memasok TBS pada PKS. Pada petani plasma atau petani swadaya yang sudah membentuk kelembagaan dan bermitra dengan PKS masih bisa menerima sesuai harga penetapan. Selain itu dari sisi grading karena sudah dibina sudah bisa memenuhi speks pabrik sehingga tidak banyak terkena potongan. Jadi masalah bagi petani swadaya yang tidak berlembaga maka harga yang diterima lebih rendah lagi karena lewat pedagang pengumpul dan masih terkena grading. Contohnya sebuah PKS di Pelalawan menetapkan harga TBS tanggal 1 Juni Rp2070/kg. Padahal mayoritas petani seperti ini,” kata Gamal lagi.
Gamal mengingatkan bahwa petani kelapa sawit selama ini sudah bekerja dengan baik sehingga produksi minyak sawit semakin meningkat, juga relatif mandiri dengan sedikit sentuhan pemerintah seperti program PIR sudah mampu meningkatkan produksinya. Selama ini tidak banyak bantuan pemerintah untuk petani kelapa sawit tetapi luas lahan mereka semakin meningkat. Setelah ada BPDPKS baru pemerintah lebih hadir lewat PSR, Sarpras dan pengembangan SDM.
Gamal minta Kemendag membuat mekanisme yang memudahkan ekspor CPO dan produk turunannya tanpa mengorbankan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri. Saat ini mekanisme ekspor CPO sudah diatur tetapi tidak terlalu jelas. tanggal 31 Mei ekspor yang keluar baru 123.678 ton terdiri dari RBD Palm Oil 57.659 ton dan RBD Palm Olein 66.019 ton oleh 6 perusahaan. Harga ekspor CPO Rp2000 diatas harga lokal tetapi belum mekanismenya.
“Jangan membuat kebijakan yang merugikan petani. Saya mengerti pemerintah ingin membuat ketersediaan minyak goreng melimpah dan harga terjangkau bagi masyarakat. Banyak orang pintar di pemerintah yang bisa merumuskan berbagai kebijakan tanpa perlu mengorbankan petani. Jangan membuat kebijakan yang pada akhirnya merugikan satu pihak saja yaitu pihak yang paling lemah yaitu petani,” katanya.
Kebijakan ini pada akhirnya harus menguntungkan semua pihak. Saat ini dengan pembelian CPO hanya Rp11.000-12.000 di dalam negeri sedang harga internasional Rp23.000/kg , dikurangi beban pungutan yang mencapai sepertiganya masih ada margin yang besar bagi eksportir CPO. Eksportir CPO hanya itu-itu saja jadi ujungnya perusahaan-perusahan besar eksportir CPO dan produk turunannya yang paling menikmati kebijakan ini, sedang petani dan PKS dengan kebun skala menengah non group besar dan PKS tanpa kebun menjadi pihak yang tidak terlalu diuntungkan.
“Segera buat kebijakan yang menguntungkan semua pihak. Kemenko Perekonomian harus mampu mengkoordinir semuanya jadi orkestra merdu yang menguntungkan semua pihak. Sekarang sepertinya terkotak-kotak Kementan berada disisi petani, Kemenperin memihak prosesor CPO dan Kemendag memihak eksportir dan pedagang minyak goreng. Pemerintah itu satu dan kebijakannya harus menguntungkan semua pihak,” kata Gamal lagi.
Petani kelapa sawit selama ini adalah masyarakat yang baik. Mereka tidak akan berteriak dan masih bisa survive meskipun harga TBS tinggal Rp1600/kg asal harga pupuk tidak naik. Sekarang pupuk naik tinggi sehingga istilahnya yang tepat bukan naik lagi tetapi ganti harga. Herbisida yang diperlukan pekebun juga sama ganti harga. Kalau semua ini tidak naik dengan harga TBS diatas Rp2000 petani masih bisa tenang.
“Kembali kaitkan harga TBS dengan harga pasar internasional. Biarkan petani menikmati harga tinggi. Ketika harga rendah mereka tidak diintervensi kebijakan maka ketika harga tinggi lakukan hal yang sama,” kata Gamal.
Kondisi ini juga harus menjadi pembelajaran bagi organisasi petani kelapa sawit. Mereka harus lebih banyak bergerak di akar rumput untuk membentuk kelembagaan bekerjasama dengan dinas perkebunan setempat kemudian melakukan kemitraan dengan pekebun.
“Jangan selalu berteriak di Jakarta. Kerjakan juga bagianmu bentuk kelembagaan petani secepatnya. Ini harus jadi program utama asosiasi petani kelapa sawit. Jangan gara-gara tidak mampu membentuk kelembagaan dan bermitra dengan PKS malah ingin merubah aturan. Petani yang berlembaga dan bermitra dengan PKS adalah kondisi ideal yang harus diperjuangkan, bukan menyerah dan membiarkan kondisi seperti sekarang. Ini amanat UU Perkebunan yang harus diwujudkan,” kata Gamal.