Tangerang, mediaperkebunan.id – Masalah utama kakao Indonesia adalah sulit membuat kebijakan yang tepat karena data masing-masing kementerian/lembaga berbeda-beda. “Kalau data saja sudah berbeda-beda bagaimana membuat kebijakan yang tepat. Sebaiknya semua pemangku kepentingan berkumpul untuk mencapai satu data kakao,” kata Achmad Manggabarani, Ketua Umum Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan pada Hari Kakao Indonesia.
Misalnya data yang menyebutkan luas lahan kakao 1,4 juta ha, tapi setelah ke lapangan tidak sebesar itu. Luas sebesar itu dengan produksinya yang rendah membuat nilai produktivitasnya menjadi sangat rendah.
Tahap awal untuk mendapat data dengan cepat dan akurat adalah dengan mengumpulkan 17 grinding kakao. Kemudian berapa kakao dalam negeri yang telah terserap, maka itulah gambaran produksi yang sebenarnya.
Manggabarani, Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2006-2010 mengapresiasi upaya Direktorat Jenderal Industri Agro yang tidak hanya masuk di sektor pengolahannya tetapi ada program ke hulu dengan program dokter kakaonya. Pemerintahan baru merupakan momentum untuk pengembangan kakao. Pembiayaan kakao oleh BPDP titik beratnya pada pengembangan SDM dengan mengorganisasi petani.
Puslitkoka yang sekarang dibawah PT Riset Perkebunan Nusantara, anak perusahaan PTPN III Holding, sebaiknya berada di bawah BRIN atau Kementan. Kakao bukan komoditas PTPN III sehingga perhatiannya berbeda.
Plt Direktur Perbenihan Perkebunan, Dhani Gartina menyatakan luas kakao Indonesia 1.412.014 ha dan produksi 650.612 ton, produktivitas 715/kg dan 99,63% merupakan pekebun kecil. Tahun 2012-2022 luas areal rata-rata menurun 1,77%, produksi rata-rata menurun 0,16% dan produktivitas rata-rata menurun 1,2%. Tahun 2012-2021 rata-rata volume ekspor turun 0,15%, rata-rata nilai ekspor turun 0,11%, rata-rata volume impor biji naik 29,58% dan rata-rata nilai impor tumbuh 21,8%.
Direktorat Jenderal Industri Agro, I Putu Juli Ardika mengutip data FAO, luas lahan kakao Indonesia 1,476 juta ha, sedang produksi mengutip data ICCO 160.000 ton sehingga produktivitas hanya 200 kg/ha. Indonesia menempati peringkat ke 7 produsen kakao dunia. Tahun 2023 kebutuhan biji kakao 447.880 ton, pasokan kakao dalam negeri 171,191 ton (38%) sedang impor 276.683 ton (62%). Selama periode 2015-2023 terjadi penurunan produksi kakao sebesar 8,3%/tahun sedang impor meningkat dari 239.377 ton menjadi 276.683 ton.
Salah satu program Kemenperin adalah penguatan SDM sepanjang rantai pasok salah satunya program Cocoa Doctors. Bekerjasama dengan Mars melatih 200 orang dari daerah yang berpotensi mengembangkan kakao. Mereka difasilitasi tiket pesawat pulang pergi dan dididik selama 1 bulan dengan uang saku Rp130,000/hari. Selesai pelatihan tugasnya adalah mengajak temannya bisa menghasilkan benih kakao standar dan budidaya.
Materi Cocoa Doctors dalah praktek persiapan pembibitan dan lahan, manajemen pembibitan, pembuatan batang entres dan observasi kesesuaian klon. Cocoa Doctors yang kembali ke daerahnya sudah melatih petani di Sumut, Lampung, Gorontalo, NTT, Kaltara, Bali dan Sumbar.