T-POMI
2020, 23 Mei
Share berita:

Forum Komunikasi Dewan Komoditas Perkebunan mengusulkan supaya Menteri Keuangan menerbitkan PP baru agar semua komoditas perkebunan (kecuali kelapa sawit) dibebaskan dari PPN. Setelah itu merevisi UU PPN agar produk hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan dibebaskan dari pengenaan PPN. Aziz Pane, Ketua Forum Komunikasi Dewan Komoditas Perkebunan menyatakan hal ini.

Putusan Mahkamah Agung tanggal 22 Pebruari 2014 yang menghapus hasil pertanian sebagai barang strategis sehingga dikenakan PPN 10%. Akibatnya dilapangan petani yang menanggung beban PPN itu. Harga yang diterima berkurang 10%, padahal biaya produksi semakin meningkat dan harga turun.

Kondisi ini mengakibatkan petani tidak punya kemampuan merawat kebunnya sehingga rentan terkena hama penyakit dan produktivitasnya turun. Fenomena saat ini banyak pekebun beralih profesi dan tidak mengurus kebunnya karena hasilnya tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga. Jika terus terjadi maka keberlanjutan perkebunan akan terancam.

Pandemi Covid-19 di seluruh dunia membuat industri pengolah hasil perkebunan di negara-negara tujuan ekspor berhenti berproduksi sesuai dengan aturan lockdown di negara tersebut. Akibatnya permintaan ekspor menurun diikuti juga dengan turunnya harga. Hal ini terjadi pada karet, kopi, kakao dan teh.

Pada karet, Permentan nomor 38 tahun 2008 menetapkan harga bokar ditingkat petani paling kurang 75% dari harga FOB, sedang pabrik crumb rubber paling kurang 85% FOB dengan kadar karet kering (K3) 100%. Saat ini harga karet USD1,2/kg maka dengan kurs USD Rp14.500 maka harga FOB Rp17.400/kg.

Harga ditingkat pabrik 85% Rp14.790/kg, harga ditingkat petani 75% Rp13.050/kg. Harga petani dengan K3 50% Rp6.525/kg . Harga ditingkat petani dikurangi ongkos transport Rp600/kg dan keuntungan pedagang Rp300/kg maka Rp5.600/kg. Dikurangi PPN Rp560 maka harga ditingkat petani Rp5.040/kg. Kalau K3 dibawah 50% maka harganya akan lebih rendah lagi.

Baca Juga:  KUR PERKEBUNAN LEBIHI TARGET

Petani yang kebun karetnya dipelihara dengan baik dan bahan tanaman klonal untuk satu kali sadap perhektar menghasilkan 30 kg slab/lump, dalam setahun disadap 120 kali maka kalau menyadap sendiri pendapatan Rp20,16 juta atau Rp1,68 juta/bulan, dikenakan PPN jadi Rp1,5 juta/bulan.

Bagi hasil dengan penyadap (60% hasil sadap) Rp12,096 juta/tahun atau Rp1 juta/bulan dikenakan PPN tinggal Rp900 ribu/bulan. Kepemilikan lahan petani rata-rata 1-2 ha, sedang yang menggunakan bahan tanaman klonal dan dipelihara dengan baik tidak lebih dari 40%.

Tahun 2019 dan tahun 2020 ada serangan Pestalotiopsis yang disebabkan kurangnya pemeliharaan tanaman. Diperkirakan produksi akan berkurang 40%. Dengan kepemilikan kebun 1 ha maka pendapatan petani karet sudah jauh dibawah UMR ditambah PPN menjadi lebih rendah lagi.

Dampaknya adalah petani menghentikan penyadapan, sering terjadi kalau harga sedang rendah. Kebun tidak dipelihara dan dipupuk sehingga produksi turun 30%. Dampaknya kehilangan produksi 700.000 ton/tahun.

Akibatnya petani menebang karetnya dan diganti dengan tanaman sawit atau singkong yang dianggap lebih menguntungkan. Banyak laporan masuk bahwa hal ini sudah banyak terjadi.

Penyelundupan bokar ke Malaysia semakin marak karena tidak dikenakan pajak ekspor dan harganya jauh lebih tinggi dari harga lokal. Saat ini sering terjadi penyelundupan bokar dari Aceh dan Kalimantan Barat ke Malaysia. Kalau harganya terus rendah petani di Pantai Timur Sumatera berpeluang mengikuti.