2022, 21 Juli
Share berita:

Jakarta, Mediaperkebunan.id
Kondisi petani sawit saat ini sudah sangat memprihatinkan. “Saya tidak mau menyalahkan pemerintah yang membuat kebijakan. Petani kelapa sawit pernah mengalami hal yang serupa tahun 2008, tetapi kondisi sekarang lebih parah karena harga TBS langsung terjun bebas,” kata Ketua Umum ASPEPKIR, Setiyono dalam Ngopi Sawit yang diselenggarakan oleh InfoSAWIT.

Kondisi saat ini lebih berdampak parah, karena ditengarai ada perusahaan yang memanfaatkan utamanya perusahaan minyak goreng sawit. Terkait minyak goreng semestinya bisa dilakukan dengan penerapan Bantuan Langsung Tunai (BLT), supaya tidak terjadi penyimpangan. Sebab bila yang dilakukan subsidi terhadap produk atau barang, maka barang yang disubsidi akan hilang di pasaran.

Kepala Bidang Organisasi dan Anggota Serikat Petani Kelapa Sawit Sabarudin, menyatakan hasil tpantauan anggota SPKS di 14 Kabupaten dan 5 Provinsi, harga TBS Sawit terus mengalami penurunan yang sangat dalam. Dengan adanya pencabutan sementara PE minyak sawit sesuai PMK no 115/2022, belum bisa menjadi solusi dalam meningkatkan harga TBS Sawit petani.

Kebijakan pencabutan ini dianggap terlambat karena harga sudah di bawah Rp 1.000/kg. “ Dalam kondisi seperti ini tata kelola kebun sawit ditingkat petani sudah tidak lagi diperhatikan. Padahal ada kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang membutuhkan dukungan dari petani kelapa sawit,” katanya.

Tata kelola sawit harus diperhatikan. Kemenko Perekonomian dan Kementan harus menghitung seberapa besar PE akan bisa menormalkan harga TBS Sawit dan tu harus menjadi titik evaluasi penerapan kebijakan PE.

Suaduon Sitorus dari Jaringan Petani Sawit Nasional menyatakan untuk pemulihan harga TBS Sawit kedepan ada dua langkah yang bisa dilakukan pemerintah, pertama, melakukan normalisasi rantai pasar dengan mencabut kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) dan Flash Out (FO) dan Pungutan Ekspor (PE).

Baca Juga:  GAPKI BENGKULU MINTA PERIJINAN PKS TANPA KEBUN DITATA

Kedua, pemerintah harus memberikan insentif kepada para pelaku ekspor dengan melakukan pengurangan nilai Bea Keluar (BK). Saat ini yang dilakukan pemerintah bukan solusi yang tuntas lantaran dalam beleid PMK No. 115/2022, penghapusan PE hanya berlaku hingga 31 Agustus 2022, sementara per September 2022 akan diadakan kembali dan nilainya menjadi US$ 240.

Dengan beleid seperti itu akan semakin membahayakan lantaran selain ada penghapusan juga memastikan akan ada peningkatan pungutan lebih besar dari sebelumnya yang yang hanya mencapai US$ 200/ton menjadi US$ 240/ton. Ini akan memberikan respon kepada pengusaha dengan tidak menaikan harga TBS.

Ketua Apkasindo Perjuangan, Alvian Rahman menyatakan petani sawit sudah ambruk karena kebijakan yang kurang tepat. Saat diterapkan penghentian ekspor pada 28 April 2022, awal mula penurunan harga TBS petani yang sangat drastis, telah membuat pelaku usaha dan harga di tingkat bawah anjlok mengalami kepanikan serta berimbas pada aspek ekonomi petani.

Solusinya adalah dengan melakukan ekspor CPO secara bertahap dimana stok di dalam negeri per Juli 2022 diperkirakan akan mencapai 8 juta ton. “Bila dilakukan ekspor secara sekaligus akan semakin membuat harga minyak sawit ditingkat global menurun,” katanya.

Termasuk melakukan evaluasi terhadap besaran Bea Keluar dan pungutan ekspor yang saat ini diterapkan. Belajar dari negara lain , dalam kondisi ini mereka menerapkan pajak ekspor dengan nilai yang rendah misalnya Thailand hanya sekitar 7%, Malaysia 3%, Vietnam sebesar 13%, sementara Indonesia justru menerapkan pungutan dan pajak sebanyak 60%.

.