Ambang batas zat antrakuinon sebesar 0,02 persen pada komoditas teh yang ditetapkan Uni Eropa menjadi salah satu hambatan bagi ekspor teh Indonesia. Pasalnya nilai ambang batas minimum antrakuinon sangat tidak logis. Apalagi teh merupakan produk minuman bukan makanan.
Direktur Utama PT Pagilaran Rachmat Gunadi mengakui, nilai ambang batas sebesar 0,02 persen memang memberatkan. Karena sangat merugikan eksportir, terutama dari negara berkembang seperti Indonesia.
Gunadi mengatakan, agar teh lolos di pasar Eropa eksportir harus melengkapi hasil pemeriksaan laboratorium di Eurofin Germany. “Kebun teh yang tidak bebas antrakuinon bakal ditolak produknya,” tukasnya kepada www.perkebunannews.com.
Hal serupa juga dikatakan Peneliti Teh dari Pusat Penelitian Teh dan Kina Dadan Rohdiana. Menurutnya, kekhawatiran adanya antrakuinon dalam teh bisa mengganggu kesehatan manusia sangat berlebihan. Teh dikenal sebagai bahan minuman bukan makanan, dimana untuk bisa dikonsumsi, teh harus diseduh terlebih dahulu menggunakan air.
Dadan menuturkan, antrakuinon merupakan metabolit sekunder dari tanaman. Antrakuinon banyak terdapat dibagian tanaman terutama pada daun, bunga, biji, dan bagian akar. Antrakuinon memiliki peranan penting dalam transport elektron untuk menjaga fungsi biologi tanaman.
“Secara fisikokimia, sulit untuk bisa diterima jika Antrakuinon dipermasalahkan keberadaannya dalam teh. Antrakuinon merupakan senyawa kimia yang tidak larut dalam air. Padahal untuk bisa dikonsumsi, teh terlebih dahulu harus diseduh dengan air,” jelas Dadan yang juga anggota Dewan Pakar PT Riset Perkebunan Nusantara kepada www.perkebunannews.com. (YR)