Jakarta, Mediaperkebunan.id
Masalah utama yang dihadapi industri briket arang kelapa Indonesia yang seluruhnya memproduksi untuk shisha (gaya merokok Timur Tengah) saat ini adalah kesulitan pengiriman ekspor/shipment. Sebenarnya ini bukan hal yang baru, karena sejak beberapa tahun terakhir beberapa perusahaan pelayaran yang notabene seluruhnya adalah perusahaan asing mulai tidak menerima produk briket arang shisha. Asep Jembar Mulyana, Ketua Bidang Organisasi HIPBAKI (Himpunan Pengusaha Briket Arang Kelapa Indonesia ) menyatakan hal ini.
“ Namun karena masih ada beberapa pelayaran yang masih menerima, kami tidak terlalu menghiraukannya . Barulah pada awal Juni 2021 pelayaran menjadi masalah yang sangat serius. Salah satu pelayaran terbesar yang masih menerima produk kami pada akhirnya juga tidak menerima. Dua bulan kemudian yaitu pertengahan Agustus 2021 pelayaran ini menerima kembali briket arang shisha namun dengan regulasi yang sangat memberatkan” kata Asep.
Perusahaan pelayaran mempersyaratkan briket arang shisha harus dikirim dengan menggunakan refrigerated container, ditambah lagi dengan menggunakan thermal blanket dan pengurangan kapasitas muatan. Hal ini sungguh sangat memberatkan, mengingat biaya shipment pada masa covid ini juga telah naik sekitar 5 kali lipat dari biaya pada masa normal. Penolakan perusahaan-perusahaan pelayaran ini sangat tidak dapat diterima dan dipahami , karena bersifat sepihak dan dengan alasan yang sangat dipaksakan.
“Dengan alasan keamanan pelayaran mereka tidak menerima arang shisha tetapi masih menerima briket arang barbecue . Menurut mereka briket arang shisha paling berbahaya dan paling mudah terbakar. Ini sangat kontradiktif dengan kenyatataan karena briket arang shisha ini merupakan “kasta” tertinggi dari industri briket, dengan harga yang paling tinggi secara ekonomi dan dengan kualitas tertinggi pula dibandingkan dengan briket lainnya. Justru briket shisha ini paling aman dan paling sulit terbakar dibandingkan briket barbecue dan briket briket lainnya,” kata Asep lagi.
“Kami industri briket arang shisha Indonesia merasakan bahwa briket arang shisha ini seakan akan sedang di “embargo” agar tidak bisa keluar dari Indonesia. Hal ini cukup beralasan, karena semakin masifnya ekspor bahan baku dalam bentuk kelapa bulat,” katanya.
Dengan semakin sulitnya ekspor briket arang shisha Indonesia, seolah-olah seperti ada upaya sistematis untuk “mematikan” industri ini. Skenarionya agar Indonesia hanya dapat mengekpor bahan bakunya saja, dan pada akhirnya negara lainlah yang memproduksi briket arang shisha dengan bahan baku dari Indonesia.
“ Semoga segera ada upaya dari pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan Industri briket arang shisha ini, agar nama harum Indonesia sebagai Raja Briket arang kelapa dunia tetap terjaga,” kata Asep.
Saat ini industri briket arang tempurung kelapa Indonesia seluruhnya memproduksi untuk keperluan “shisha/hookah”. Penyebabnya tempurung kelapa Indonesia mempunyai kualitas terbaik dan paling cocok untuk memproduksi briket arang untuk keperluan cara merokok Timur Tengah ini.
Lebih dari 90% kebutuhan briket arang kelapa “natural” untuk shisha/hookah dunia disupplai dari Indonesia. “Sekali lagi ingin kami tegaskan bahwa briket arang shisha/hookah yang diproduksi oleh pabrik-pabrik di Indonesia adalah “natural ” tanpa bahan kimia berbahaya yang mudah terbakar,” kata Asep.
Hal ini berbeda dengan kebanyakan briket arang shisha yang diproduksi di China yang pada umumnya merupakan “instant lighting” briket dengan menambahkan bahan – bahan kimia berbahaya yang mudah terbakar. Tujuannya agar briket arangnya “cepat” menyala (instant) saat dibakar.
Jumlah perusahaan briket arang kelapa di Indonesia lebih dari 200 , 80% nya merupakan UMKM dengan kapasitas produksi 1-3 konntainer per bulan, dan jumlah tenaga kerja langsung tidak kurang dari 100 ribu orang. Petani kelapa yang terlibat langsung sebagai pemasok bahan baku sebesar 6 juta kepala keluarga yang tersebar diseluruh indonesia.
Iindustri ini telah berhasil meningkatkan kesejahteraan para petani kelapa, tempurung yang semula merupakan limbah dan dibiarkan begitu saja, sekarang menjadi sumber pendapatan tambahan yang tidak kecil. . Ekspor rata rata industri ini setiap bulanya sekitar 30 ribu ton dengan nilai devisa sekitar Rp7 triliun per tahunnya, dimana 30% nya atau sekitar Rp2 triliun merupakan penghasilan para petani kelapa yang menjadi pemasok utama bahan baku .