Brussel, Mediaperkebunan.id
UE dengan pasar yang besar dan atraktif juga kemampuan regulatory yang memadai membuat negara lain yang berminat akses pasar UE harus mengikuti standar kawasan. Dengan sendirinya UE melakukan global norm setting dan menjadi global regulatory power. Andri Hadi, Duta Besar RI untuk Belgia, Luxemburg dan Uni Eropa menyatakan hal ini.
Eropa lewat EU Green Deal (EGD) berambisi menjadi kawasan climate neutral pada tahun 2050 yaitu keseimbangan antara tingkat emisi yang diproduksi dan serapan karbon atau emisi GRK yang keluar sama dengan yang diserap. Ambisi ini dituangkan dalam EU Climate Law (ECL) yang sudah diadopsi oleh Dewan Eropa dan Parlemen Eropa dengan target reduksi emisi 55% tahun 2030 dan 0% tahun 2050.
EGD diikuti dengan penerbitan/revisi 26 kebijakan EU yang menunjukkan paham hijau sudah menjadi gaya hidup Eropa didukung pasar dan konstituen. Komisi Eropa telah meluncurkan proposal legislative package fit for 55 untuk mewujudkan ambisi EGD sesuai ECL.
Pertanian adalah salah satu sektor yang terdampak dengan penerapan EGD di Eropa untuk sektor ini adalah Form Farm to Fox. EU mengagendakan bentuk sistem produksi dan konsumsi pangan yang sehat dan lestari di kawasan dengan melakukan pengetatan standar keamanan pangan untuk komoditas pertanian yang masuk ke pasar UE.
Penguatan aspek tracebility produk yang beredar di pasar UE baik produk primer, olahan dan setengah jadi. Produk yang dipasarkan di UE harus dapat ditelusuri proses produksi dan logistiknya untuk diketahui apakah sudah penuhi standar kesehatan dan kelestarian EU.
Beberapa indikasi standar pengetatan pangan yang akan diimplementasikan UE adalah pengurangan 50% penggunaan pestisida terhadap produk agrikultur untuk mitigasi polusi terhadap tanah, air, udara di sekitar pertanian; pengurangan 25% pupuk kimia pada tanaman pangan; peningkatan 25% pertanian organik; standarisasi kemasan dan label di produk pangan yang mencakup informasi nutrisi serta aspek iklim, lingkungan hidup dan sosial yang menyertai produk terkait.
Petani UE minta kesamaan playing field dengan petani non UE sehingga akan berdampak pada ekspor produk pertanian dari negara non UE. Khusus kelapa sawit meskipun terdapat tantangan logo non palm oil tetapi ekspor untuk food industri cenderung stabil bahkan meningkat lebih dari 30% di beberapa negara diantaranya Belgia, Spanyol, Swedia, Italia, Slovenia dan Hungaria tahun 2019-2020.
Aturan umum pada EU bertujuan untuk perlindungan terhadap konsumen EU dan lingkungan misalnya peraturan traces, novel food, sistim kendali residu, labeling organik (voluntary) dan animal welfare. Kasus ekspor Indonesia yang dianggap tidak sesuai aturan EU diantaranya adalah Maksimum Residue Limits (MRLs) Aflatoxsin pada pala dan lada.
Kasus MRLs Antraquinon pada teh. Antraquinon dianggap sebagai pemicu kanker sehingga pada tahun 2014 EU mengajukan batasan MRLs antraquinon pada teh sebesar 0,02 mg/kg. Hal ini berdampak pada penurunan ekspor teh Indonesia dari 17.646 ton tahun 2013 menjadi sekitar 10.000 ton pada tahun 2014-2020. Sedang penelitian terbaru IPB tahun 2021 justru sebaliknya yaitu antraquinon menghambat sel kanker.
Dampak EGD terhadap sektor pertanian adalah tracebility aspek keterlacakan dari hilir sampai hulu. Produk hijau, produk yang berisiko merusak hutan dan lingkungan (Forest and Ecosystem Risk Commodities (FERC) akan lebih ketat persyaratannya untuk masuk UE yaitu kelapa sawit, kedelai, kopi, cokelat, karet, jagung, daging sapi dan kulit. Pengetatan standar MRLs.