Sampit, mediaperkebunan.id – Ditjenbun terus mendorong percepatan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan penyediaan sarana prasarana (Sarpras) demi meningkatkan produktivitas sawit nasional. Hal ini ditegaskan Dedi, SP., MP., Direktorat Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma, Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) dalam acara hari kedua Teknis Kelapa Sawit (TKS) & Field Trip di Sampit, Kalimantan Tengah.
Dedi menyampaikan bahwa kondisi produktivitas kelapa sawit Indonesia mengalami stagnasi dalam kurun waktu 2018 hingga 2024. Bahkan, ia menambahkan bahwa produksi sawit nasional justru mengalami penurunan pada tahun 2023 hingga 2024, terutama dari sektor perkebunan rakyat.
“Kalau kita lihat dari sisi produktivitas, sejak 2018 hingga 2024 tidak ada peningkatan signifikan. Bahkan, dalam dua tahun terakhir justru menurun, dan ini menjadi perhatian serius, apalagi 42 persen lahan sawit kita dikelola oleh rakyat,” ujar Dedi, Selasa (29/04/2025).
Menurut data yang dikumpulkan dari berbagai audit tutupan sawit, pada tahun 2023 luas perkebunan sawit nasional tercatat sebesar 17,19 juta hektar. Dari luasan tersebut, sekitar 42 persen atau hampir separuhnya merupakan lahan milik petani rakyat.
Berdasarkan hasil identifikasi nasional, terdapat 2,8 juta hektare sawit rakyat yang memenuhi kriteria untuk diremajakan. Namun hingga kini pelaksanaan PSR menghadapi berbagai hambatan, terutama dari sisi non-teknis seperti legalitas lahan, status kepemilikan tanah, dan tumpang tindih dengan kawasan hutan.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Kementerian Pertanian bersama BPDPKS mendorong akselerasi melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 25 Tahun 2025. Dalam regulasi terbaru ini, petani yang lolos verifikasi akan mendapatkan bantuan dana sebesar Rp60 juta per hektare, maksimal untuk 4 hektare per NIK. Namun, dana tidak disalurkan langsung ke individu, melainkan melalui kelompok tani.
Terdapat dua jalur yang bisa digunakan untuk mengakses PSR, yaitu jalur dinas dan jalur kemitraan. Jalur dinas diajukan secara berjenjang melalui pemerintah daerah sedangkan jalur kemitraan dapat diajukan oleh perusahaan pemilik plasma melalui kesepakatan (MoU) dengan kelompok tani.
Data dan dokumen usulan PSR dari jalur kemitraan langsung dikirimkan ke Ditjen Perkebunan dan akan diverifikasi oleh pihak ketiga yang ditunjuk. Dengan dibukanya dua jalur ini, pemerintah berharap proses PSR bisa berjalan lebih cepat dan tepat sasaran.
Dalam mendukung program ketahanan pangan nasional yang menjadi bagian dari Asta Cita Presiden Prabowo, pemerintah juga mendorong tumpangsari padi gogo di lahan replanting sawit. Petani diperbolehkan menggunakan sebagian dana PSR maksimal Rp7.832.712 per hektar untuk penanaman padi gogo sebagai alternatif pendapatan selama masa non-produktif.
“Penanaman padi gogo di sela-sela replanting sawit ini bisa menjadi solusi sementara bagi petani untuk tetap mendapatkan penghasilan sambil menunggu tanaman sawit produktif kembali,” ungkapnya.
Dedi menyampaikan bahwa hingga tahun 2025, capaian PSR masih di bawah target. Realisasi tertinggi tercatat pada tahun 2020 dengan capaian sebesar 60,80 persen dari target nasional, namun tren ini belum konsisten di tahun-tahun berikutnya.
Salah satu alasan lambatnya realisasi PSR adalah kenaikan harga Tandan Buah Segar (TBS), yang membuat petani enggan meremajakan kebunnya. Dalam situasi seperti ini, tumpangsari padi gogo dinilai dapat membantu menjaga pendapatan petani selama masa transisi tanam ulang.
Selain PSR, Ditjen Perkebunan juga menyediakan program Sarpras untuk meningkatkan produksi dan produktivitas sawit rakyat dan plasma. Berbeda dengan PSR yang berbentuk uang, Sarpras diberikan dalam bentuk barang sesuai kebutuhan lapangan.
Ada sembilan bentuk kegiatan dalam program Sarpras, antara lain bantuan untuk ekstensifikasi, intensifikasi, alat pascapanen, unit pengolahan hasil, pembangunan atau perbaikan jalan kebun, dan rehabilitasi tata kelola air. Bantuan lainnya mencakup alat transportasi, mesin pertanian, pembentukan infrastruktur pasar, serta verifikasi teknis untuk mendukung sertifikasi ISPO.
“Kalau PSR bentuknya uang, Sarpras ini bentuknya barang. Bantuan bisa berupa pupuk, pestisida, jalan kebun, bahkan alat pengolahan hasil untuk mendukung produktivitas petani,” tambah Dedi.
Dengan sinergi PSR dan Sarpras, pemerintah berharap petani sawit rakyat dapat meningkatkan produktivitas secara berkelanjutan. Harapannya, sektor sawit tidak hanya menopang ekonomi nasional, tetapi juga berkontribusi pada ketahanan pangan dan energi di masa depan.