Semarang, mediaperkebunan.id – Benar, agrowisata tidak hanya memberikan keindahan alam tapi juga memberikan edukasi kepada masyarakat luas. Bahkan agrowisata juga menggerakkan ekonomi daerah dan masyakat disekitarnya.
Kopi tidak hanya konsumsinya saja yang tingi tapi kopi bisa juga digunakan sebagai kesehatan dan kecatikan. Bahkan kopi pun bisa dijadikan sebagai tempat agrowisata seperti yang ada di Dosoen Kopi Sirap yang merupakan pengembangan usaha dari Kelompok Tani Rahayu IV Doesoen Sirap Desa KelurahanKecamatan Jambu Kabupaten Semarang yang terletak dilereng Gunung Kelir.
Ketua Kelompok Tani Rahayu IV Doesoen Sirap, Ngadianto menerangkan berawal dari kedatangan Gubernur Jawa Tengah Bapak Ganjar Pranowo pada tahun 2013, pada saat itu mendekati haripangan nasional dan Dususn Sirap diminta untuk mewakili lomba adikarya pangan nusantara ditingkat nasional. Sebagaihadiahnya pihak dusun sirap meminta di bangunkan armada dan gedung sekretariat kepada Gubernur.
Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pada bulan April 2017 resmi dibuka Agrowisata kopi Sirap yang diberi nama“Doesoen Kopi Sirap” dengan tema “Mlosok Ngopi Ngangen”.
“Salah satu agrowisata yang memanfaatkan keindahan alam ditengah-tengah perkebun kopi dengan udara yang masihbersih dan sejuk, sehingga sangat nyaman untuk tempat bersantai sambil menikmati seruputan kopi yang menjadi salahsatu produk unggulan di agrowisata kopi Sirap,” ungkap Ngadianto.
Lebih lanjut, Ngadianto menjelaskan, “Doesoen Kopi Sirap tidak hanya menyediakan keindahan alam dan produk olahan kopi serta makanan olahan khas Doesoen Sirap sebagaipendamping minum kopi, namun di agrowisata kopi Sirap juga bisa belajar tentang bagaimana membudidayakan tanamanperkebunan kopi mulai dari menanam sampai panen, pasca panen hingga pengolahan dan cara penyajian kopi yangberaroma khas mocca”.
Seperti diketahui, Doesoen Sirap memberikan kopi terbaik karena Doesoen Sirap melakukan budidaya kopi secara organik.
Bahkan secara geografi Doesoen Sirap terletak pada ketinggian 600-1.050 meter diatas permukaan laut (mdpl) dengan topografi bukit hingga berlereng. Luas hamparantotal 122,25 hektar (ha), yang peruntukanya meliputi Tegal 116 ha, Pekarangan 4,25 ha dan lain-lain 2,30 ha.
“Kondisi agroklimat yang mendukung, mendorong petani menanam tanaman-tanaman perkebunan disamping tanaman kayukayuan untuk konservasi lahan. Komoditas utama berupa tanaman kopi, cengkeh, aren, salak, nangka dan tanaman-tanaman kehutanan,” jelas Ngadianto.
Ngadianto menerangkan, untuk mengelola Doesoen Kopi Sirap maka melibatkan seluruh masyarakat sekitar. Adapun anggota Kelompok Tani Rahayu IV dengan total anggota sebanyak 40 orang mengusahakan tanaman kopi dengan luas lahanbudidaya kurang lebih 35 ha yang meliputi 25 ha tanaman kopi produktif dan 10 ha tanaman kopi muda untuk pengembangan.
“Disamping itu, terdapat pula tanaman kehutanan seperti aren,nangka,durian, alpukat dan empon-empon,” ujar Ngadianto.
Lebih lanjut, Ngadianto pun mengungkapkan, sejak adanya kegiatan SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu) tanaman kopi yang diselenggarakan olehDinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2004, petani mulai sadar akan pentingnya budidaya tanamansehat.
“Oleh karena itu, melalui wadah Kelompok Tani Rahayu IV ini mereka mulai menerapakan inovasiinovasi teknologiyang diperoleh dari SLPHT untuk merubah wajah kebun,” ungkap Ngadianto.
Ngadianto mengakui, bahwa kelompok mulai menggunakan bibit kopi yang bermutu,penggunaan pupuk bokashi dan anorganik yang tepat guna, perlakuan pemangkasan pengendalian hama dan penyakitdengan agensia hayati yang ramah lingkungan juga pasca panen kopi dengan petik merah, dan penjemuran denganalas.
“Perubahan wajah kebun petani dapat dibuktikan dengan meningkatnya kualitas dan kuantitas buah kopi yangdihasilkan. Produktifitas kopi di Kelompok Tani Rahayu IV bahkan mencapai 1,1 ton/ha pada tahun 2010, sedangkankualitas nampak dari citarasa yang khas dari biji kopi yang dihasilkan,” jelas Ngadianto.
Terkait dengan komditas organik, Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjen Bun) yang dibawah Kementan juga komit untuk meningkatkan produksi komoditas organik dalam hal ini komoditas perkebunan, salah satunya kopi.
Seperti diketahui, saat ini masyarakat dunia sudah mulai mengarah kepada pangan sehat dengan mengonsumsi produk-produk organik. Berdasarkan data Statistik Pertanian Organik Indonesia (SPOI) 2016 bahwa jumlah permintaan konsumen terhadap produk organik meningkat 54 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Atas dasar itulah Ditjenbun membangun desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan yang saat ini sudah ada 150 desa. Hal ini dilakukan untuk memenuhi permintaan dari masyarakat dalam dan luar negeri akan kebutuhan produk organik.
“Upaya membangun perkebunan berwawasan lingkungan termasuk memenuhi permintaan pasar terhadap produk perkebunan berkualitas, dan sehat untuk dikonsumsi,” kata Ardi Praptono, Direktur Perlindungan Perkebunan, Ditjenbun, Kementan kepada Media Perkebunan.
Menurut Ardi, setiap desa pertanian organik diberi input berupa ternak, rumah kompos, alat pencacah dan pembuat kompos. Adapun untuk mengendalikan penyakit dan hama pada tanaman atau organisme pengganggu tanaman (OPT) maka petani diajari membuat pestisida nabati dari daun-daun tanaman di sekitarnya juga agen pengendali hayati. Kemdudian petani juga diajari cara membuat pupuk alami dimana bahan bakunya ada disekitar lingkungan.
Pemerintah melalui Ditjenbun juga telah mengalokasikan anggaran untuk pendampingan, penyediaan input produksi organik, dan sertifikasi organik untuk kelompok tani.
“Selain dari Pemerintah, dapat juga dibangun pola kemitraan saling menguntungkan antara kelompok tani dengan perusahaan eksportir komoditas organik,” ungkap Ardi. (Nano S)