Jakarta, Mediaperkebunan.id
Untuk memenuhi tuntutan pasar yang menuntut produk perkebunan ramah lingkungan Ditjebun punya program desa organik. Jumlahnya terbatas karena aturan yang dikenakan sangat ketat sekali sampai tanaman non perkebunan yang ada di areal itu harus organik juga. Sertifikasinya juga mahal.
Sisi lain ada perkebunan yang intensif dalam penggunaan input kimia. Program lain Ditjenbun adalah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Petani lewat kelompoknya dibina dan diberi bantuan terkait hal ini. Sebagai jalan tengah antara pertanian organik dan intensif Ditjenbun menggagas perkebunan ramah iklim (Climate Friendly).
“ Dua program ini dipadukan dalan climate change frendly (ramah perubhjan iklim) yang tidak murni organik tetapi ada penurunan penggunaan input bahan-bahan kimia. Termasuk di dalamnya ada penggunaan pestisida nabati, pupuk organik dan pupuk hayati. Dengan cara ini petani mengurangi biaya produksi karena pupuk kimia dan pestisida semakin mahal. jadi meskipun produksi menurun tetapi masih bisa dikompensasi dari menurunnya biaya produksi.,” kata Direktur Perlindungan Perkebunan, Ardi Praptono.
Hal ini lebih baik daripada mengejar peningkatan produksi tetapi tidak terserap pasar. Cocok dikembangkan ketika komoditas itu sedang lesu. Diarahkan untuk pasar lokal sebab untuk pasar ekspor ada volume tertentu yang harus dicapai. Tetapi kalau produksi meningkat bisa untuk pasar ekspor.
Pertanian ramah iklim ini terutama ditujukan untuk tanaman perkebunan yang dikonsumsi langsung seperti kopi, kakao, rempah, jambu mete dan lain-lain. Komoditas ini tidak perlu masuk ke industri besar karena bisa ditangani petani sendiri. Ardi berharap konsep ini bisa diterapkan secara luas oleh petani.