Pekanbaru, Mediaperkebunan.id- Petani kelapa sawit yang dominan di Riau. Luas perkebunan kelapa sawit di Riau 3.387.206 ha terdiri dari perkebunan rakyat 1.906.413 ha (56,28%), perkebunan besar swasta berdasarkan data IUP 257 perusahaan 1. 404.059 ha (41,45%) dan PTPN 76.733 ha (2,27%). “Karena itu petani kelapa sawit perlu diberi kepastian usaha. Selama ini mereka yang sering mendapat hambatan terkait legalitas,” kata Kepala Disbun Riau, Syahrial Abdi kepada Mediaperkebunan.id.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang /Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Pertanian diusulkan menyatukan program untuk membuat kepastian berusaha bagi petani kelapa sawit. Program itu yaitu PTSL (Program Tanah Sistematis Lengkap) dan STDB (Surat Tanda Daftar Budidaya). Pembiayaan oleh BPDPKS.
Pernah menjadi Kepala Badan Pendapatan Daerah Riau, Abdi untuk menjelaskan pentingnya sertifikat tanah dan STDB menggunakan analogi kepemilikan kendaraan. BPKP (Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor) adalah bukti secara hukum memiliki kendaraan sedang untuk mengoperasikan di jalan raya perlu SIM (Surat Izin Mengemudi).
Demikian juga menjadi pekebun harus punya Seritifikat Hak Milik yang terbit lewat PTSL sebagai bukti secara perdata kedudukan kuat pemilik. Sedang untuk budidaya dia punya STDB. Dengan cara ini petani terdata by name by addres, sehingga secara legalitas bisa untuk sertifikasi ISPO juga tracebility (ketelusuran).
Dengan luasan petani sebesar itu maka Abdi juga berhadap dana BPDPKS untuk petani di Riau bisa lebih banyak lagi baik PSR, Sarpras dan Pengembangan SDM. Khusus PSR, Kepala Disbun Riau melihat selama ini lebih banyak teralokasi untuk petani eks PIR yang sudah maju.
“Bukan bermaksud membeda-bedakan, lebih banyak petani kelapa sawit swadaya yang lebih membutuhkan. Luas kebun petani swadaya 1.772.181 ha atau 92,9% sedang petani plasma PIR dan KKPA 134.232 (7,1%). Jadi PSR sebaiknya lebih banyak ke petani swadaya yang produktivitasnya rendah karena menggunakan benih ilegitim meskipun umur sawitnya misalkan baru 17 tahun tetapi produktivitas rendah. Tidak perlu menunggu sampai umur 25 tahun,” katanya.
Petani yang sudah maju tadi lebih baik dilatih manajemen keuangan, persiapan pendapatan sebelum replanting. Bantuan keuangan mungkin setengahnya saja sebab melakukan sendiri juga sebenarnya mampu. Memang untuk mengejar capaian program lebih mudah ke petani plasma karena secara administratif lengkap, tetapi lihat tujuan utama replanting yaitu dengan luasan kebun yang sama produktivitas meningkat. Petani swadaya yang sangat perlu mendapat PSR.
Demikian juga untuk program sarpras , Kepala Disbun Riau bekerjasama dengan dinas yang membawahi perkebunan di kabupaten sedang mempersiapkan kelembagaan petani supaya bisa memenuhi syarat untuk mendapatkannya. “Kita harus sering sosialisasi bahwa jalan dalam kebun, alat mesin pertanian, alat transportasi bisa didapat dari dana BPDPKS. Petani lewat kelembagaanya harus siap dan mengajukan lewat dinas perkebunan kabupaten. Riau juga harus lebih banyak mendapatkan Sarpras” katanya.
Salah satu program Sarpras adalah pendirian Pabrik Mini Minyak Goreng (Pamigo) di Kuantan Singingi. Koperasi Produsen Unit Desa Tupan Tri Bakti mendapat bantuan Ditjen Perkebunan dengan dana BPDPKS untuk Pamigo ini dengan dana Rp5,5 miliar. “Program ini sempat terhambat tetapi dengan turun langsungnya bagian Sarana dan Prasarana Dinas Perkebunan Riau akhirnya bisa diatasi dan rencana akan diresmikan September 2024,” katanya.
Aspirasi Riau juga supaya pengelolaan dana bagi hasil sawit , pemprov diberi kewenangan lebih untuk mengelola secara langsung. DBH sawit untuk Provinsi Riau sebagian besar masuk ke Dinas PUPR untuk perbaikan jalan dan jembatan, kemudian 8% untuk Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan kegiatan rehabilitasi lahan, 3% untuk Dinas Perkebunan untuk kegiatan pendataan dan dan pendampingan ISPO petani dan 2% untuk Dinas Tenaga Kerja untuk jaminan sosial tenaga kerja bagi petani dan pekerja petani. Kedepan dengan pengalaman yang lebih baik dana untuk disbun bisa dialokaskan lebih besar lagi.