Jakarta, Mediaperkebunan.id
GIMNI (Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia) berterimakasih kepada Presiden Jokowi yang telah menerima aspirasi sehingga mengeluarkan SBE (Spent Bleaching Earth) yaitu produk samping dari pengolahan CPO menjadi RBDO , sebagai limbah B3 (Bahan Beracun Berhaya). “Citra minyak kelapa sawit semakin bagus karena selama ini limbahnya dikategorikan B3 sehingga seolah-olahnya minyaknya juga mengandung bahan beracun dan berbahaya. Industri Hasil Kelapa Sawit menjadi go green. Industri juga bisa menurunkan biaya produksi dan industri pengolahan menjadi sejajar bahkan lebih maju dari Malaysia,” kata Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI dalam Let’s talk about palm oil yang digagas oleh Togar Sitanggang.
Lewat Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup maka SBE yang sebelumnya masuk sebagai limbah B3 sekarang sudah tidak lagi. Dulu dimasukkan dalam limbah B3 bukan karena mengandung bahan beracun berbahaya tetapi karena jumlahnya besar dan menurut Konvensi Basel kondisi ini bisa masuk sebagai B3.
Proses pengolahan CPO dan PKO menjadi RBDO di refinery perlu bleaching earth yang berasal dari hasil tambang. Setelah proses, dihasilkan by product (produk samping) SBE dan bukan limbah karena masih bisa diekstrasi dan menghasilkan R-Oil (recoverd oil) yang berniai ekonomi tinggi dan De-OBE (berupa pasir dengan kandungan minyak <2,5% bisa digunakan sebagai pengganti pasir/silica untuk bahan bangunan). Karena sudah bukan limbah B3 maka perlu lebih banyak lagi solvent extraction plant untuk mengolah SBE ini yang kandungan minyaknya masih 20-28% menjadi R oil (digunakan sebagai bahan baku biodiesel, oleokimia) dan De-OBE (digunakan sebagai pengganti pasir, bahan pupuk dengan kandungan mikronutrient SiO yang tinggi, pelapis dasar jalan raya, bahan baku keramik, reuse bahan baku bleaching earth, bahan baku semen karena masih mengandung silika dan alumunium).
Saat ini solvent extaction plant yang beroperasi hanya satu di Deli Serdang (beroperasi sejak tahun 2017), satu lagi sedang di bangun di Gresik, satu pabrik lagi di Bogor sudah tidak beroperasi. Pabrik di Bogor berhenti karena biaya pengolahan Rp1.185-1.215/kg sedang ada pengolah limbah B3 lain yang tidak punya fasilitas pengolahan menawarkan biaya Rp450-550 kg. Status sebagai limbah B3 juga membuat biaya angkut menjadi lebih tinggi berkisar 20%. Pengolah limbah SBE yang tidak punya fasilitas pengolahan ini hanya menumpuk saja sehingga pernah menjadi masalah di Marunda. Saat ini limbah SBE menumpuk di lokasi refiners sehingga mengalami kesulitan berproduksi karena ruang penimbunan SBE sudah tidak dimiliki. Malaysia tidak memasukkan SBE sebagai limbah B3, tidak memerlukan izin untuk pengirimannya, tetapi harus dilengkapi dokumen pengiriman karena ada harga jualnya. Selama ini refinery di Riau menjual SBE ke Malaysia. Saat ini ada 92 refinery di Indonesia sehingga untuk mengolah SBE perlu dibangun 20 pabrik solvent ekstraktor di 9 zone produksi dengan investasi Rp1.5-1,8 triliun. Biaya refining CPO jadi RBDO dengan adanya pabrik solvent ekstraktor ini akan menurun 2% (sekitar Rp 4.974/ton RBDO). Pabrik solvent ekstraktor ini hanya mengambil R-oilnya saja sedang D-OBE bisa diserahkan pada UMKM sekitar pabrik untuk membuat Cellular Lightweight Concrete, bata ringan, hebel). Jadi UMKM CLC tidak perlu lagi mengambil pasir dari alam. Dengan cara ini maka semua pihak diuntungkan.