2017, 9 Januari
Share berita:

Deforestasi merupakan fenomena normal dan rasional dalam proses pembangunan.

Deforestasi (konversi hutan ke penggunaan lain) menjadi kata yang sering dipakai oleh LSM internasional maupun lokal untuk menyerang perkebunan sawit di Indonesia. Bahkan dalam berbagai forum Internasional para LSM telah berhasil mengangkat isu deforestasi sebagai sesuatu yang harus dicegah.

Mulai dari Palm Oil Free, Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP), Governor’s Climate and Forest Task Force (GCF) yang ditandatangani para Gubernur, promosi “Membeli yang Baik ” yang diedukasi LSM di Indonesia pun merupakan bagian dari gerakan anti deforestasi.

Repotnya di Indonesia, para pejabat negara dan perusahaan-perusahaan besar tunduk pada tekanan LSM dan dengan mudah menandatangani sesuatu yang tidak dimengerti dengan benar dan memiliki implikasi luas bagi Indonesia yang sedang membangun.

Deforestasi merupakan fenomena yang normal terjadi dalam poses pembangunan disetiap negara sekalipun di Eropa maupun di Amerika Serikat. Deforestasi juga merupakan pilihan rasional untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di setiap negara. Jika ditelusuri ke sejarah masa lalu setiap negara, semua kota-kota, kawasan industri/bisnis, pemukiman, lahan pertanian/perkebunan di seluruh dunia, merupakan hasil deforestasi.

Tentu saja seharusnya ada titik berhenti untuk deforestasi. Di negara-negara Eropa dan Amerika Utara titik berhentinya tidak ada pada masa pembangunannya di masa lalu. Bagi Indonesia UU No. 41/1999 tentang Kehutanan telah membuat titik untuk berhenti deforestasi yakni sampai luas hutan minimal 30 persen dari luas daratan. Saat ini luas kawasan hutan menurut Statistik Kehutanan (2014) masih 75 persen.

Jadi sesuai konstitusi, deforestasi masih dapat dilakukan sampai dititik berhenti tersebut. Sehingga menjadi aneh jika pejabat pemerintah dan perusahaan-perusahaan mau tunduk dan menandatangani apa yang diingini LSM.
Dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini, deforestasi adalah bagian dari pembangunan. Peningkatan kebutuhan lahan dan ruang untuk kebutuhan penduduk dan pembangunan tidak mungkin dipenuhi tanpa deforestasi.

Baca Juga:  DPR Memprotes Resolusi Kelapa Sawit

Tentu saja, Indonesia jangan ikuti “keserakahan” negara-negara Eropa dan Amerika Utara yang menghabiskan hutan dan penghuninya pada masa pembangunannya. Indonesia harus lebih bijaksana dari mereka. Konstitusi kita yakni Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan telah memberikan arahan pada titik mana Indonesia berhenti deforestasi yakni luas hutan harus dipertahankan minimal 30 persen dari luas daratan. Saat ini luas Kawasan hutan menurut Statistik Kehutanan (2014) masih sekitar 73 persen luas daratan. Dengan demikian Indonesia masih dibenarkan konstitusi melakukan deforestasi sampai mendekati batas minimum itu.

Sebagai negara yang berdaulat penuh dan didukung 250 juta rakyat, pemerintah bekerja atas perintah konstitusi NKRI bukan atas perintah LSM. Tidak perlu takut akan intimidasi negara-negara Barat dan LSM agar menghentikan deforestasi yang berarti memberhentikan pembangunan. Proses pembangunan di Indonesia belum berada dititik bahkan masih jauh untuk berhenti deforestasi.

Pemerintah seyogyanya intervensi asing pada pembangunan Indonesia dan tidak mudah menandatangani “ikrar-ikrar” dengan pihak asing yang memasuki wilayah kedaulatan Indonesia. Perkebunan kelapa sawit Indonesia bukanlah penyebab deforestasi terbesar dunia. Tuduhan negara-negara Barat melalui LSM-nya bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan penyebab deforestasi terbesar global selain bertentangan dengan data dan hasil studi European Commision juga hanyalah propaganda kosong. Sumber: indonesiakita.or.id/YIN