Kapuas Hulu, mediaperkebunan.id – Perjalanan menuju perbatasan Indonesia – Malaysia di wilayah Kapuas Hulu, Kalimantan Barat menyuguhkan panorama alam yang menakjubkan sekaligus tantangan yang dihadapi. Dari pusat kota Putussibau menuju kawasan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Badau jaraknya mencapai sekitar 170 kilometer.
Dengan kecepatan mobil rata-rata 60 km/jam, perjalanan ini dapat ditempuh dalam waktu sekitar tiga jam. Namun setiap menitnya menyimpan kisah tersendiri tentang potensi besar yang belum tergarap secara maksimal.
Jalanan berkelok dan berbukit menjadi pemandangan utama sepanjang rute ini. Mobil yang melintas sangat jarang, bahkan dalam tiga jam perjalanan hanya terlihat lima hingga sepuluh kendaraan lain. Sepanjang sebagian besar jalur tidak ada sinyal komunikasi sama sekali dan koneksi baru muncul sesekali di pemukiman kecil dengan kekuatan yang lemah dan tidak stabil. Kondisi ini mempertegas status Kapuas Hulu sebagai wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) yang masih berjuang keras mengejar kemajuan.
Namun di balik kesunyian itu, terdapat hamparan potensi tersembunyi. Sesekali tampak kebun sawit mandiri yang dikelola petani lokal di antara perbukitan hijau. Lahan-lahan ini menjadi tanda semangat masyarakat yang mencoba mengikuti jejak negeri tetangga Malaysia. Hanya berjarak beberapa kilometer dari garis batas dan telah lebih dahulu mengembangkan perkebunan sawit secara masif.

Sesampainya di perbatasan Badau, kontras itu begitu terasa. Di sisi perbatasan Malaysia sudah terlihat hamparan sawit yang sudah tertata rapi dan luas. Sementara di sisi Indonesia, lahan sawit masih jarang terlihat seolah menjadi cermin dari ketimpangan di wilayah perbatasan ini.
Padahal Kapuas Hulu memiliki potensi lahan yang sangat besar untuk pengembangan sawit rakyat. Kondisi tanah di wilayah ini sebagian besar merupakan tanah kaya mineral yang cocok untuk pertumbuhan kelapa sawit. Namun, potensi tersebut harus dikelola dengan sangat hati-hati karena sekitar 60 persen wilayah Kapuas Hulu merupakan kawasan hutan lindung yang termasuk dalam bentang alam Heart of Borneo.
Kondisi inilah yang kerap menimbulkan rasa kecemburuan sosial di kalangan masyarakat perbatasan. Mereka melihat wilayah tetangga di Malaysia bisa mengelola perkebunan sawit, sementara di sisi Indonesia banyak lahan belum dimanfaatkan optimal karena keterbatasan izin, infrastruktur, dan modal.
Meski demikian, harapan tetap tumbuh bersama dengan semangat petani – petani yang mulai beralih ke budidaya sawit berkelanjutan. Dukungan pemerintah daerah, lembaga petani, dan lembaga pendanaan seperti BPDP diharapkan dapat membuka jalan baru bagi masyarakat Kapuas Hulu untuk mengelola potensi sawit secara bijak dan berkelanjutan.

