Pontianak, mediaperkebunan.id – Kenaikan dana hibah PSR dari Rp30 juta/ha menjadi Rp60 juta/ha, jadi insetintif semua pemangku kepentingan, baik kelembagaan pekebun, dinas yang membidangi perkebunan dan perusahaan mitra untuk berlari cepat mencapai targe. Azizah, Wakil Ketua GAPKI Kalbar menyampaikan hal ini dalam diskusi 4th Indonesian Palm Oil Small Holder Conference (IPOSC) and Expo 2024, kerjasama POPSI, Media Perkebunan dan BPDPKS.
Peran GAPKI/perusahaan dalam PSR adalah pendampingan dan teknis administrasi yaitu penerapan best practises proses bisnis kelapa sawit yang berkelanjutan mulai dari tumbang chiping sampai pemeliharaan dan panen. Perusahaan juga bisa menyediakan bibit sawit bersertifikat sehingga produktivitas naik. Dengan terlibatnya perusahaan ada dukungan yang kuat dari lembaga pemerintah pusat dan daerah juga keterlibatan perbankan dalam mendukung keberhasilan PSR.
Bentuk kemitraan PSR ada dua avalist comersial dan operator pengelolaan. Pola avalist commersial yaitu perusahaan membangun dan mengelola kebun lembaga petani sampai kredit lunas. Anggota lembaga petani dapat bekerja di kebun sesuai standar perusahaan, pendanaan dari BPDPKS dan perbankan, lembaga pekebun membayar fee manajemen. Perusahaan selain mendapat kepastian pasokan TBS juga harus menalangi defisit cicilan. Ini jadi momok perusahaan untuk masuk ke pola ini.
Pola berikutnya adalah operator pengelolaan. Pelaksanaan sama dengan avalist commercial tetapi perusahaan tidak akan menanlangi bila terjadi defist. “Dengan dana hibah PSR Rp60 juta/ha pekebun maka tidak perlu meminjam ke bank sehingga pola yang tepat saat ini adalah pola operator pengelolaan. Dalam pola ini pengelolaan juga bisa kerjasama antar perusahaan dan koperasi sehingga tidak bulat-bulat perusahaan,” kata Azizah.
Azizah sendri di perusahaanya sudah membantu 2 kelembagaan petani untuk bisa mengakses PSR di Ngabang. “Persyaratan PSR sepertinya gampang tetapi pelaksanaannya sulit juga. Semua persyaratan sudah terpenuhi dan ok dalam sistim aplikasi PSR. Ketika verifikasi lapangan oleh Sucofindo petani harus hadir.
Surveyor melakukan penitikan batas kebun bersama dengan petani, ternyata peta SHP yang diajukan berbeda dengan hasil penitikan Sucofindo. Sehingga akhirnya hanya yang beririsan saja yang masuk, misalnya dari pengajuan 2 ha menjadi 1 ha. Karena itu penting sekali membuat peta pengusulan yang benar dan petani harus ikut dalam membuat batas-batasnya,” katanya.
Tantangan kemitraan jalur PSR adalah petani belum bersedia melakukan peremajaan karena masih produktif dan kelembagaan KUD tidak aktif. Petani selama tiga tahun harus kehilangan pendapatan. Koperasi banyak yang sudah bubar juga.
Adanya lahan masuk kawasan hutan. Pemenuhan persyaratan (surat keterangan BKPH dan BPN) membutuhkan proses dan waktu. Penginputan data PSR kemarin sering terkendala tetapi sekarang tidak ada masalah. Verifikasi oleh Sucofindo untuk penerbitan rekomtek membutuhkan waktu dan proses. Adanya isu pemeriksaan oleh APH di daerah lain sehingga mengurangi minat kelembagaan petani untuk PSR.
Peranan perusahaan adalah pendampingan intensif untuk pengaktifkan kelembagaan KUD dan kesediaan petani dalam PSR. Proaktif dengan penugasan personil pendampingan untuk percepatan pemenuhan persyaratan BPDPKS. Koordinasi dan pendampingan petani terkait/koperasi dengan instansi terkait dalam penyelesaian kawasan hutan. “Kami melatih petani jadi juru ukur, membuat peta shp dengan koperasi, mengurus surat penyediaan benih dan lain-lain,” katanya.
Kunci sukses kemitraan adalah mitra fokus melakukan pendampingan dan pengelolaan plasma; pengelolaan berbasis geospatial; pengelolaan kebun berbasis best practises untuk mencapai standar perusahaan benih, di beberapa kebun malah lebih; kepastian penerimaan TBS; kemandirian petani dan alih pengetahuan; serifikasi ISPO dan RSPO.