Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2025 mengatur kewajiban penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari kegiatan pengusahaan dan/atau pengolahan sumber daya alam (SDA) ke dalam sistem keuangan nasional. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia dengan meningkatkan cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar rupiah.
Pokok Kebijakan dari PP Nomor 8 Tahun 2025 adalah Penempatan DHE: Eksportir di sektor pertambangan (kecuali minyak dan gas bumi), perkebunan, kehutanan, dan perikanan diwajibkan menempatkan 100% DHE SDA dalam rekening khusus di bank nasional selama 12 bulan.
Dampak ke Petani Kecil
Petani kecil biasanya tidak mengekspor langsung hasil sawitnya (CPO atau TBS), melainkan menjual ke koperasi, tengkulak, atau perusahaan pengolahan (PKS). Namum dalam ekosistem kelapa sawit (rantai supply) pabrik kelapa sawit selaku pengolah TBS petani kecil akan sangat bergantung pada eksportir kelapa sawit. Kebijakan ini memang kepada eksportir tetapi jika mereka berdampak maka akan berdampak ke bawah.
Misalnya, seluruh eksportir itu tidak mampu membeli TBS atau CPO dari ribuan perusahaan sawit karena dananya terbatas karena di tahan akibat DHE maka mereka tidak mampu membeli CPO dari pabrik-pabrik sawit yang ada. Karena serapan tidak ada, maka berdampak pada petani tidak bisa panen; harga TBS turun, sekarang sudah mulai turun 30-50 rp/kg; TBS petani tidak laku; eksportir akan memilah-milah suplyernya; eksportir akan memprioritaskan bahan baku dari group perusahaannya; – pabrik banyak yang ditutup dan PHK massal.
Sedang dampak tidak langsung harga TBS bisa terpengaruh. Jika perusahaan eksportir kesulitan likuiditas karena harus menyimpan DHE di dalam negeri selama 12 bulan, bisa jadi mereka lebih selektif membeli bahan baku (TBS), atau menekan harga beli dari petani. Tapi sebaliknya, jika stabilitas nilai tukar membaik dan ekspor meningkat, harga TBS bisa ikut naik.
Oleh : Mansuetus Darto, praktisi sawit dari serikat petani kelapa sawit