Jembrana, mediaperkebunan.id – Provinsi Bali yang dikenal sebagai sentra pariwisata nasional memberikan kejutan yang positif. Namun kali ini kejutan itu tidak terkait perkembangan pariwisata, melainkan terkait perdagangan komoditas perkebunan kakao.
Dari Kabupaten Jembrana yang merupakan sentra perkebunan kakao di Provinsi Bali dikabarkan bahwa harga per kilogram (Kg) beberapa hari terakhir telah mencapai Rp 150.000 di tingkat petani.
Situasi yang positif ini , seperti dikutip mediaperkebunan.id dari laman resmi RRI, sungguh lonjakan harga kakao yang luarbiasa. Kenaikan harga tersebut tercipta seiring permintaan pasar global atau pasar ekspor yang juga meningkat.
Tetapi sayangnya, kata Kepala Bidang (Kabid) Perkebunan pada Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Jembrana, I Komang Arida, di saat yang sama produksi hasil kakao premium petani di Jembrana justru belum memenuhi kebutuhan permintaan ekspor. “Padahal, harga dan produksi kakao petani Jembrana saat ini justru sudah meningkat bila dibanding tahun sebelumnya,” tutur I Komang Arida.
“Namun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jembrana terus mendorong para petani untuk menjaga kualitas untuk tetap menjaga pasar ekspor yang sudah terjalin,” beber I Komang Arida lagi. I Komang Arida mencontohkan, pada tahun 2024 yang lalu, produksi kakao premium dari Kabupaten Jembrana baru bisa terserap 150 ton atau sebanyak 50 persen dari permintaan pasar ekspor yang mencapai 300 ton.
I Komang Arida mengatakan dengan potensi harga jual kakao yang saat ini menjulang, petani merasakan manfaatnya. Produksi kakao untuk pasar ekspor juga mulai merangkak naik sudah terpenuhi separuh dari permintaan. Petani, kata dia lebih lanjut, khususnya yang tergabung di Subak Abian terus didorong untuk tetap mempertahankan kualitas dengan mengolah kakao fermentasi seperti semula.
“Kenaikan harga kakao saat ini bukan hanya terjadi di Kabupaten Jembrana, tapi seluruh wilayah di Asia. Karena kondisi global, permintaan meningkat, namun ketersediaan terbatas,” ujar I Komang Arida. “Berdasarkan informasi yang kami himpun, tercatat harga kakao per kilogram sekarang mencapai Rp 150 ribu per kilogram, dari sebelumnya hanya berkisar Rp 45.000 per kilogram,” ujar Arida menambahkan.
Harga tersebut, ucapnya lagi, terjadi untuk biji kakao kering kondisi normal dan belum mengalami fermentasi. Karena lonjakan harga ini, diharapkan konsistensi petani menjaga kualitas agar tetap dipertahankan.
Pemkab Jembrana mendorong petani kakao melalui pemberian bantuan sarana dan prasarana (sarpras) di kelompok petani (Poktan) atau subak, untuk memproduksi kakao fermentasi.
“Meskipun petani mengetahui kalau harga biji kakao kering yang tidak fermentasi harga sudah naik, kami harapkan proses fermentasi tetap harus dilakukan untuk menjaga keberlanjutan pasar ekspor,” katanya. Dengan demikian, lanjut I Komang Arida, komoditas hasil perkebunan kakao yang kini menjadi unggulan di Kabupaten Jembrana tersebut tidak turun kualitasnya. Sebagai informasi tambahan, dari data Bidang Perkebunan Kabupaten Jembrana diketahui kalau saat ini ada 6.341 hektar (Ha) kebun kakao yang tersebar di sejumlah subak abian. Pada tahun 2024 lalu, Kabupaten Jembrana dapat menghasilkan 3.006 ton kakao, naik dibanding tahun sebelumnya yang masih di sekitaran 2000-an ton kakao.