Pontinak, mediaperkebunan.id – Bagi petani Indonesia hal yang sangat penting supaya memenuhi regulasi EUDR adalah mempunyai Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). EUDR mensyaratkan harus berasal dari lahan bukan deforestasi dari 30 Desember 2020; diproduksi memenuhi aturan negara bersangkutan termasuk legalitas lahan; uji tuntas meliputi data dan dokumen deskripsi produk, volume, diproduksi di negara mana, geolokasi lahan. Rizal Affandi Lukman, Sekjen CPOPC, menyatakan hal ini pada 4th IPOSC yang diselenggarakan POPSI, Media Perkebunan.
Negara-negara eksportir akan dikualifikasikan berdasarkan risikonya yaitu rendah, standar dan tinggi. Saat ini semua negara masih dikategorikan standar. Hal yang menarik adalah untuk UMKM di EU sendiri diberi tambahan batas waktu 6 bulan. CPOPC sudah mengusulkan untuk produk petani juga diberi tambahan waktu seperti UMKM UE.
Sampai saat ini belum ada perubahan apakah mendapat persetujuan atau tidak. Pemillihan Umum untuk anggota parlemen EU baru saja selesai dan saat ini sedang dalam proses pembentukan komisioner UE. Jadi dua lembaga ini belum berfungsi, jadi belum jelas apakah pemberlakukan EU akan mundur atau tetap berlaku dengan catatan sana sini.
Hal yang harus diperhatikan terkait EUDR adalah akses pekebun, sertifikasi nasional, ketelusuran, benchmarking negara; perlindungan data pribadi. Pekebun skala kecil akan paling terpengaruh karena keterbatasan terhadap sumber daya dan kapasitas yang terbatas untuk mengikuti aturan EUDRT. Ada 3,1 juta orang pekebun sawit Indonesia dan Malaysia.
Perusahaan juga akan banyak yang terdampak karena banyak PKS pasokan TBS 25% dari kebun sendiri dan 75% pekebun. Ada peluang pekebun keluar dari rantai pasok, apalagi pendekatan EUDR adalah segregasi. Indonesia punya sertifikat ISPO sedang Malaysia MSPO. EU tidak mengakui dua sertifikasi tersebut dan tetap harus melalui uji tuntas. Kondisi ini membuat solusi yang bersifat menang-menang sulit dicapai. Masing-masing negara punya proses sustainability yang sangat dinamis dan cepat berubah.
Ketelusuran, harus ada investasi membuat pemetaan poligon petani. Biaya tinggi untuk membuat dan merawat sistim pelacakan real time deforestasi untuk lahan pekebun. Setiap pengiriman harus ada real time ketelusuran , sulit membuat ketelusuran bebas deforestasi secara real time. Untuk produk turunan seperti oleokimia dan lemak specialty sulit membuat keterlacakan real time bebas deforestasi.
Supaya petani bisa masuk ke rantai pasok hal yang paling minimal adalah punya STDB. Dengan STDB maka data petani masuk dasbor nasional. Tantangannya adalah UE menerapkan pendekatan segrrgrasi, yaitu memisahkan antara TBS yang sudah memenuhi syarat dan belum. Ini merupakan masalah besar.
Indonesia dengan sistim darbor nasional mampu mengirim ke UE. ISPO dengan tambahan data mampu menjawab isu ketelusuran. Untuk meminimarlisir dampak EUDR, CPOPC terus berdialog dengan UE.