Garut, Mediaperkebunan.id – Kondisi industri sabut kelapa di Indonesia saat ini berada dalam fase pertumbuhan, namun masih menghadapi sejumlah kendala struktural yang menghambat potensi maksimalnya. Dengan ketersediaan bahan baku terbesar kedua di dunia setelah India, industri ini memiliki peluang ekspor besar.
“Tetapi kendala pengiriman menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan Industri sabut kelapa di Indonesia kurang kompetitif karena hampir 95% lebih Industri sabut kelapa di Indonesia baru memproduksi cocopeat dan cocofiber yang merupakan produk turunan tahap 1,” kata Cepi Mangkubumi, Owner Coir Indonesia, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Sabut Kelapa Indonesia (HPSKI) kepada Media Perkebunan.
Karena itu Cepi Mangkubumi, mendorong hilirisasi industri sabut kelapa untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi agar dapat berdampak bagi seluruh stakeholder. Coir Indonesia berhasil mengolah sabut kelapa menjadi produk-produk bernilai tinggi untuk kebutuhan market di Eropa dan Amerika.
Cepi mampu menentukan lokasi-lokasi produksinya sesuai dengan segementasi market yang dimilikinya. Seperti contoh untuk memenuhi market lokal, khususnya permintaan cocopeat di HTI (Hutan Tanaman Industri) produksinya difokuskan di wilayah Lampung, Sulawesi Tengah dan rencana pengembangan ke Sumsel dan Riau. Sementara untuk pasar ekspor produk bernilai tambah tinggi fokus di daerah Jawa Barat.

Mulai berbisnis sekitar 10 tahun lalu di Lampung, saat ini fokus untuk pengembangan produk-produk turunan lainnya di Jawa Barat, Selain faktor pelabuhan (Main Prort) yang lebih dekat, faktor ketersediaan SDM juga menjadi kunci yang utama dalam Industri sabut kelapa, mengingat industri ini merupakan industri yang padat karya.
Cepi lewat perusahaanya Coir Indonesia telah berhasil membangun kerjasama dengan beberapa Lembaga pemasyarakatan yang ada di Jawa Barat, seperti Lapas Garut, Lapas Ciamis, Lapas Sumedang, Lapas Cirebon. Warga binaan Lapas menjadi tenaga kerja sehingga mereka produktif dan mendapat penghasilan meskipun berada alam lapas. Cepi juga punya beberapa mitra ayang tergabung di HIPSKI yang berada di Tasik dan Ciamis.
Ekspor Cepi berupa coirshade untuk pasar Amerika Serikat dan Eropa yaitu Spayol, Perancis, Belgia dan lain-lain. Sedang permintaan Korea Selatan paling besar adalah coir rope dan coir mat. Sampai 2 tahun kedepan akan fokus pada coirshade karena sudah memiliki kotrak dengan buyer.
Nilai tambah coir hade ini mencapai 6-7 kali dari cocofiber. Nilai satu kontainer cocofiber Rp60-70 juta sedang coir shade Rp300-350 juta. “Permintaan coir shade ini cukup tinggi dan sampai saat ini belum bisa kita penuhi karena keterbatasan produksi rope,” kata Cepi.
Coirshade ( peneduh dari sabut kelapa) adalah produk turunan dari serat kelapa (cocofiber) yang dirajut atau dianyam menggunakan mesin spinning dan mesin weaving menjadi lembaran mirip jaring dengan tingkat kerapatan tertentu. Produk ini mulai populer sebagai produk yang ramah lingkungan untuk peneduh di area taman, kebun, balkon rumah, kolam renang, café, resort dll.
Untuk produk coirshade saat ini mulai banyak kompetitor yang mengikuti khususnya dari Vietnam, , tetapi produk mereka memiliki kualitas yang kurang baik sehingga ada beberapa buyer yang pernah beli dari Vietnam tetapi mereka kembali lagi untuk memesan coirshade yang di produksi Coir Indonesia yang sudah terbukti kualitasnya.
Potensi Indonesia untuk menghasilkan produk olahan sabut kelapa sangat besar sebab materialnya sangat melimpah, bahkan di beberapa sentra produksi kelapa masih menjadi limbah dan dibakar. Dunia saat ini produk-produk yang ramah lingkungan sehingga peluang ini harus dikelola dan dioptimalkan dengan baik.