2021, 10 Mei
Share berita:

Bogor, Mediaperkebunan.id

Kelapa sawit adalah industri yang sangat kompleks dan bersifat transnasional. Terjadi interaksi semua aktor didalamnya baik saling menguatkan, meniadakan dan tidak terkait antara yang dilakukan pemerintah dan perusahaan. Bagi CIFOR (Center of International Forestry Research), lembaga riset kehutanan internasional yang berkantor di Bogor, tiga isu utama kelapa sawit adalah konflik lahan dan siapa yang menarik keuntungan terbesar terkait dengan ekspansi lahan, perbedaan produktivitas yang sangat jauh antara perusahaan dan petani; pengaruh terhadap lingkungan. Ahmad Dermawan, peneliti CIFOR menyatakan hal ini.

Semua isu ini ditentukan oleh interaksi kebijakan antara pemerintah dan dunia usaha yang disebut kompleks rezim. Kebijakan masing-masing bisa paralel, tumpang tindih bahkan saling berkompetisi. Saling melengkapi jika mekanisme operasional masyarakat dan perusahaan saling menguatkan; antagonis bila saling meniadakan dan disconect bila kebijakan perusahaan menggantikan kebijakan pemerintah dimana tujuan yang sama berusaha dicapai dengan cara yang berbeda tetapi gagal dalam membuat hubungan yang lebih baik.

Rumitnya industri kelapa sawit ditunjukkan dengan berbagai aturan pemerintah dan inisiatif swasta. Untuk pendanaan misalnya lembaga keuangan di Indonesia tunduk pada aturan OJK, sedang di Eropa mereka tunduk prinsip investasi yang bertanggung jawab sesuai dengan Equator Principles dan Soft Commodities Compact.

Regulasi impor di Eropa berdasarkan pada EU-Renewable Energy Directive dan Amsterdam Declaration, sedang inisiatif swasta adalah pasokan bersih dengan janji dan komitmen nol deforestasi lewat Consumer Good Forum; New York Declaration on Forest dan Sustainable Palm Oil Manifesto. Perusahaan consumer good yang menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku bergabung dalam ESPO (European Sustainable Palm Oil).

Sedang ekspor di Indonesia dikenakan pungutan ekspor untuk BPDPKS. Semua pelaku usaha wajib bersertifikat ISPO di Indonesia dan MSPO di Malaysia. Dua sertifikasi ini merupakan legal suply.

Baca Juga:  2017 Peremajaan Sawit Ditargetkan 20.750 Hektar

Sebagai code of conduct perusahaan di Eropa membuat kebijakan perusahaan berkelanjutan lewat NPDE no peat, no deforestation, no eksploitation policy. Sertifikasi yang digunakan adalah yang bersifat sukarela yaitu RSPO sebagai perwujudan Amsterdam Declaration dan ISCC sebagai perwujudan EU RED. Dua sertifikasi ini merupakan sustainability supply.

Isu sektor keuangan terkait sustainability adalah dana publik yang ditempatkan diperbankan, pasar modal dan lembaga keuangan lainnya tidak ada hubungannya dengan upaya pemberian kredit pada petani untuk meningkatkan produktivitas. Kebijakan lembaga keuangan internasional banyak diadopsi perbankan lokal dengan dukungan regulasi pemerintah. Proses memasukan kriteria sustainability pada sistem perbankan terkendala dengan banyaknya bank dan pemberi pinjaman informal yang sama sekali tidak memasukan kriteria sustianability.

Dalam perdagangan kebijakan sustainability negara-negara tujuan impor tidak sama dengan negara-negara eksportir. Negara tujuan impor lebih banyak mengambil sustainability sukarela seperti ISCC dan RSPO untuk meyakinkan bahwa minyaknya diambil dari sumber yang berkelanjutan. Konsumen di negara-negara maju menetapkan berbagai pembatasan seperti bebas deforestasi yang berlawanan dengan tujuan ekspansi perusahaan dan negara.

Terkait dengan penggunaan lahan masih ada kesenjangan komunikasi antara pemerintah pusat, provnsi dan kabupaten/kota terkait areal konservasi. Regulasi penggunaan lahan memaksa perusahaan untuk melindugi hutan dan gambut. Perolehan lahan, pendanaan dan jasa-jasa terkait perkebuna transaksinya bisa formal dan informal sehingga pemerintah dan perusahaan sulit memastikan apakah tbsnya berasal dari areal legal atau illegal.