Jakarta, mediaperkebunan.id – Ada sebab akibat, itulah yang terjadi pada penangkar perkebunan saat ini jika usaha penangkaran yang dilakukannya punah atau tidak digunakan sesuai dengan apa yang sudah direncanakan sebelumnya yakni menyediakan benih siap tanam unttuk meningkatkan produktivitas.
Ketua Umum Perkumpulan Penangkar Benih Tanaman Perkebunan Indonesia (PPBPTI) Badaruddin Puang Sabang mengakui bahwa untuk bulan Apri hingga Mei diperkirakan sekitar 38 juta bibit tersedia di tingkat penangkar.
“Dengan adanya kebijakan pemotongan diperkirakan akan jutaan bibit penangkar yang tidak tersalur dan terancam dimusnahkan, pasalnya untuk bibit tanaman perkebunan ada batas umur dapat disertifikasi dan diedarkan,” kata Ketua Umum Perkumpulan Penangkar Benih Tanaman Perkebunan Indonesia (PPBPTI) Badaruddin Puang Sabang.
Hal ini karena, menurut Badaruddin bibit yang tersebut telah disediakan sejak tahun lalu untuk agar dapat disalurkan pada awal tahun 2020. Tentu perlu adanya kebijakan dari pemerintah mengingat penangkar perkebunan mayoritas adalah UMKM (usaha mikro kecil dan menengah) berbasis pedesaan yang usahanya padat karya.
“Sekiranya akan ada kebijakan perngurangan maka perlu adanya opsi-opsi agar kerugian tidak berdampak terhadap keberlangsungan usaha penangkar. Jika penangkar gulung tikar maka pemerintah ke depan akan kesulitan menyediakan bibit sial salur untuk masyarakat,” papar Burhanuddin.
Sementara itu Rusbandi, Sekjen Perkumpulan Penangkar Benih Tanaman Perkebunan Indonesia (PPBPTI) mengakui, semua penangkar saat ini mengalami keresahan. Pasalnya bibit siap salur hingga saat ini ada 38 juta memang siap disediakan untuk kegiatan pengadaan. Hal ini dikerjakan oleh para penangkar, setelah mendapatkan arahan pemerintah untuk menyiapkan bibit agar dapat disalurkan pada triwulan pertama.
“Kami mengharapkan Menteri pertanian cq Ditjen Perkebunan untuk tidak memotong pengadaan bibit. Untuk mengatasi kondisi Covid-19 maka bisa dilakukan pada produk lain yang tidak bersiko, karena pupuk, pestisida dan alat pertanian bisa disimpan dan bisa diproduksi pada saat ada pemesanan. Sementara bibit kalau tidak disalurkan akan rusak, dan batas umur terbatas,” harap Rusbandi.
Lebih lanjut, Hasanuddin Sigalingging, penangkar karet asal Sumatera Selatan yang juga Wakil Ketua Perkumpulan Penangkar Benih Tanaman Perkebunan Indonesia (PPBPTI) mengatakan mayoritas penangkar ini memiliki modal terbatas, dan beberapa diantaranya memberdayakan kelompok tani dan lembaga-lemabga ekonomi dan masyarkaat desa.
Mohon diingat kalau usaha penangkar adalah padat karya dan penggerak ekonomi di pedesaan, karena mayoritas pembibitan berada di pelosok dan menggunakan tenaga kerja dari masyarakat sekitar. Untuk penyiapan polibag penanaman, pemeliharaan dan pengangkutan membutuhkan tenaga kerja tidak sedikit.
“Kalau dipotong maka banyak yang menanggung resiko, penangkar-penangkar besar dan penangkar kecil dan tenaga kerja akan mengalami kerugian dan akhirnya akan berdampak pada ekonomi di pedesaan,” ucap Hasanuddin.
Menurut Hasanuddin, kalau ini terjadi dari tahun ke tahun maka penangkar otomatis akan mati, karena penangkar memberikan bantuan luar biasa, terlebih mereka rela menyediakan bibit terlebih dahulu dengan modal sendiri ada juga yang pinjam dari Bank. Bahkan tidak sedikit modalnya berasal dari pinjaman teman. Tapi saat bibit tidak laku akan memberikan masalah yang sangat besar termasuk perputaran uang di desa, karena bibit ini ditangkarkan di desa-desa.
Atas dasar itulah jangan melupakan para penangkar yang lebih padat karya dan mermodalkan pinjaman untuk melakukan pembibitannya.
Sementara Hindarwati, Sekretaris Dewan Pembina Perbenihan dan Pembibitan Indonesia (MPPI) mengharapkan pemerintah dapat menyikapi kondisi kritis ini dengan cara yang bijaksana. Jangan sampai pemotongan anggaran yang bermaksud untuk membantu kelompok masyarakat tertentu mengakibatkan dampak buruk kepada kelompok masyarakat lainnya yang dalam hal ini adalah penangkar benih tanaman perkebunan.
“Pasalnya bibit tidak bisa disimpan, jika tidak terlebih pilihannya adalah terus memelihara dan berharap akan ada yang membeli atau dimusnahkan. Sementara itu sebagian besar pasar bibit tanaman perkebunan adalah untuk program pengadaan pemerintah khususnya yang bersumber dari APBN.” jelas.
Melihat hal ini Nirmala, penangkar asal Jember, Jawa Timur mengaku pasrah ketika mendapatkan kabar dari Dinas jika 900 ribu bibit kopi yang ia sediakan untuk program pengadanaan program Kementerian Pertanian, hanya 300 ribu yang akan terserap.
“Artinya saya akan siap-siap memunaskan 600 ribu batang kopi dengan total kerugian mencapai Rp. 2 Milyar,” terang Nirmala.
Contohnya, Hasanuddin, penangkar kecil asal Bangkalan, Jawa Timur, bibit jambu mentenya sebanyak 15 ribu terancam tidak terserap seluruhnya. Ahmad Sudjana, penangkar asal Lebak Banten menambahkan, bahwa hampir seluruh pengadaan bibit cengkeh dan kopi di Provinsi Banten dihapuskan. Begitu juga dengan Zulham, penangkar sekaligus Ketua PPBPTI Provinsi Sumatera Utara mengaku ada 400 ribu bibit kopi di Provinsi Sumut yang tidak terserap akibat pemotongan anggaran.