Indonesia memang sebagai pengahasil crude palm oil (CPO) terbesar di dunia, maka tidak perlu menuruti aturan main asing dalam menentukan standar sustainable karena Indonesia sudah mempunyai Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Direktur Jenderal Perkebunan, Kementan, Gamal Nasir menyayangkan kepada perusahaan besar yang ikut menandatangi perjanjian Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP). Sebab dalam perjanjian tersebut banyak aturan-aturan yang membebani petani kelapa sawit.
Padahal dari total luas areal perkebunan kelapa sawit yang mencapai 10,5 juta hektar yang ada di Indonesia hampir setengahnya dimiliki oleh petani swadaya. Artinya jika perjanjian tersebut dilaksanakan maka petani kelapa sawitlah yang akan terkena dampaknya.
“Melihat hal tersebut maka sebaiknya bubarkan IPOP Kenapa kita tidak perlu takut pada negara luar. Mengapa harus takut kepada asing. Maka bubarkan IPOP. Kita tidak perlu takut terhadap asing. Inikan politik dagang,. Janganlah menekan petani,” tegas Gamal dalam Konferensi Pers bertema “Bermartabatkah Sawit Kita!” di Jakarta (17/2).
Lebih dari itu, menurut Gamal, mengapa perusahaan yang tergabung dalam IPOP harus menuruti aturan yang dipesan oleh negara asing. Sebab memang harus diakui bahwa petani kelapa sawit dahulu masih banyak yang menam di lahan gambut. Maka jika aturan tersebut benar-benar dijalankan bagaimana dengan petani yang sudah terlanjut di lahan gambut? Sebab kenyataan dilapangan banyak petani yang sudah terlanjur menanam di lahan marjinal.
“Lalu bagaimana dengan tanadan buah segar (TBS) yang dimiki oleh petani. apakah mau ditolak? Jika sampai ke-5 perusahaan tersebut benar-benar menolak TBS milik petani karena telah melanggar aturan dari IPOP, maka hal ini sama saja IPOP telah menyengsarakan petani,” tegas Gamal.
Lebih lanjut, Gamal menghimbau kepada 5 perusahaan tersebut agar tidak perlu membuat aturan baru terkait sustainable. Sebab di Indonesia sendiri sudah mempunyai ISPO yang selaras dengan UU dan Permentan.
Sehingga jika perusahaan tersebut beralibi menandatangi IPOP hanya karena takut kehilangan pasar, maka hal tersebut dinilai terlalu kerdil. Sebab Indonesia tidak perlu merasa khawatir untuk kehilangan pasar di luar. Sebab masih banyak cara untuk masuk ke pasar luar karena CPO masih banyak dicari karena lebih efisien.
Lebih dari itu, saat ini pemerintah telah menggenjot B-20 agar penggunaan CPO untuk dalam negeri lebih besar lagi. “Jadi (lima) perusahaan tidak perlu merasa khawitir kehilangan pasar,” jelas Gamal.
Hal senada dikatakan Firman Soebagyo, Anggota Komisi IV DPR-RI, bahwa bubarkan saja IPOP jika memang sudah menggangu ketentraman petani. Bahkan jika dilihat lebih mendalam bahwa IPOP itu monopolies terselunung yang dapat mematikan hak hidup masa bangsa.
“Maka jika tidak mempunyai komitmen terhadap aturan di Indonesia maka kembalikanlah KTP yang gerambar garuda,” jelas Firman.
Sebab, lanjut Firman, hal tersebut terbukti telah melanggar Undang-Undang pasal 33 tahun 1945. Sebab didalam pasal tersebut, ayat 3 dijelaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kemudian didalam ayat 4 juga dijelaskan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Artinya, jika petani tidak bisa memasok tandan buah segar (tbs) ke perusahaan untuk diolah berarti perusahaan tersebut sudah tidak mendukung kemakmuran rakyat. Padahal bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara, bukan dikuasai oleh perusahaan.
“Sehingga jika hal ini dilakukan maka bisa saja akan timbul kartelisasi perkebunan, dan saat ini sudah terjadi di peternakan yang hanya dikuasai beberapa perusahaan saja,” himbau Firman.
Lebih dari itu, Firman mengingatkan seharusnya Kadin sebagai wadah dari pengusaha Indonesia bisa mengdepankan nasionalisme. Sehingga dalam hal ini ada oknum yang bermain didalam Kadin atas usulan tersebut yang didukung oleh perusahaan raksasa kelapa sawit.
“Maka seharusnya, Kadin, bersama pelaku usaha bisa meng-counter (menyerang balik) isu yang dilontarkan oleh asing melalui LSM bukan justru menuruti permintaan asing,” pungkas Firman. YIN