Jakarta, Media Perkebunan.id
Ketika Ketua Komisi IV DPR RI minta Kementan membuat larangan ekspor kelapa bulat untuk mendukung industri olahan kelapa di dalam negeri, Abdul Wahid, anggota Komisi VII DPR RI (bidang energi dan ristek) fraksi PKB dari Dapil Riau 2 yang meliputi Kampar, indragiri Hilir, indragiri Hulu,Kuantan Singingi dan Pelalawan segera menelpon Ketua Komisi IV (bidang Pertanian) dan Komisi VI (bidang industri) untuk menyampaikan aspirasi petani kelapa.
Putra daerah Inhil yang merupakan negeri hamparan kelapa, kabupaten dengan luas kelapa terbesar di Indonesia ini tahu persis bagaimana kondisi petani kelapa kalau ekspor dilarang. “Kita pernah mengalami masalah ketika industri global tidak membeli kelapa. Banyak petani yang menelpon mereka tidak bisa lagi menyekolahkan anaknya, ketika ada anggota keluarga yang sakit tidak mampu berobat ,” katanya.
Hasil dialog dengan kedua Ketua Komisi ini diketahui bahwa wacana larangan ekspor kelapa bulat karena pengaduan industri bahwa mereka sering kekurangan bahan baku sejak kran ekspor dibuka. Karena itu minta supaya ada kebijakan melindungi industri lokal untuk mendapatkan kecukupan bahan baku dengan larangan ekspor kelapa bulat.
“Saya setuju supaya ada kebijakan melindungi industri kelapa lokal agar bisa bertahan. Tetapi negara juga harus hadir untuk melindungi petani kelapa. Masalahnya bukan bahan baku yang kurang tetapi industri olahan kelapa dalam negeri tidak mampu bersaing dengan eksportir dalam mendapatkan kelapa dari petani,” katanya.
Eksportir membeli langsung dari kebun petani. Mereka bisa membeli kelapa lebih mahal Rp500-700/butir dibanding industri dalam negeri. “Selisih harga antara eksportir dan industri dalam negeri jauh sekali. Petani lebih suka jual ke eksportir,” katanya.
Dalam membuat kebijakan. pemerintah harus memperhatikan kepentingan dua pihak, jangan menguntungkan satu pihak tetapi merugikan pihak lain. Larangan ekspor kelapa bulat pada saat ini akan menguntungkan industri tetapi merugikan petani.
Pemerintah harus membuat kebijakan lain sebelum melarang ekspor kelapa bulat. Harus ada kebijakan penetapan harga kelapa seperti pada kelapa sawit. Harus dibuat penetapan harga terendah. Kalau harga kelapa jatuh dibawah harga penetapan terendah maka harus ada lembaga semacam Bulog yang membeli kelapa petani.
“Kalau aturan soal harga kelapa ini sudah ada baru pemerintah bisa mengeluarkan larangan ekspor kelapa bulat. Kita sangat mendukung hilirisasi. Kita juga mau supaya Indonesia mengekspor produk olahan kelapa yang bernilai tambah tinggi. Tetapi dalam kondisi sekarang industri tidak sanggup membeli semua kelapa petani, juga harganya jauh dibawah kemampuan eksportir. Kalau tiba-tiba dilarang maka petani yang akan dirugikan,” kata Wahid lagi.
Salah satu alasan Industri pengolahan tidak mampu membeli kelapa seharga eksportir adalah mutu kelapa yang dikirim beragam, ada yang memenuhi standar dan tidak. Petani tidak melalukan kendali mutu yang ketat sejak panen.
“Industri olahan kelapa juga harus berbenah. Mereka selalu punya alasan untuk menekan harga kelapa petani. Kenapa industri global mampu membeli kelapa dengan harga tinggi, sedang industri di dalam negeri malah cenderung harga rendah,” katanya.
Secara terpisah, Gamal Nasir , Dewan Pengawas Gabungan Asosiasi Pertani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) yang juga mantan Dirjen Perkebunan menyatakan sebelum larangan ekspor kelapa bulat diberlakukan, maka data kelapa harus dibenahi dulu. Berapa sebenarnya produksi kelapa, berapa kapasitas industri pengolahan kelapa. Bila benar produksi kelapa kurang sehingga industri tidak kebagian bahan baku maka larangan ekspor kelapa bulat bisa diberlakukan.
“Syaratnya industri harus membeli kelapa sesuai dengan harga pembelian eksportir. Jangan membeli dengan harga lebih rendah, “ kata Gamal.
Sekarang petani sedang menikmati harga tinggi akibat dibukanya kran ekspor kelapa bulat. Pemerintah harus hati-hati dalam membuat kebijakan. Membuka pasar ekspor tidak mudah. Sekarang kelapa Indonesia sudah diekspor ke berbagai negara. Kalau dilarang maka membuka pasar lagi tidak mudah. Negara penghasil kelapa ada 8, kalau Indonesia melarang maka pasar akan diisi oleh negara lain.
“Membuat kebijakan soal kelapa harus berhati-hati. Ini komoditas perkebunan terluas ke dua setelah sawit, 3,7 juta ha dan 98% dimiliki petani. Setiap kebijakan harus dihitung untung ruginya terutama bagi petani,” katanya.
.