2020, 22 Juni
Share berita:

BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) tidak punya sistim yang bisa memantau apakah CPO yang diolah menjadi FAME untuk program biodiesel, TBSnya berasal dari petani atau bukan. Muhammad Ferian, Plt Direktur Kemitraan BPDPKS menyatakan hal ini.

“Pemantauan bukan tugas kami, itu tugas instansi lain. Tugas kami adalah menyediakan dukungan dana supaya semakin banyak minyak sawit yang diolah jadi biodiesel untuk menggantikan bahan bakar fosil,” katanya.

BPDPKS mendukung penggunaan TBS petani untuk bahan bakar nabati. Hal ini ditunjukkan dengan rencana penggunaan TBS hasil PSR di Musi Banyuasin untuk IPO (Industrial Palm Oil) yang selanjutnya diolah jadi bahan bakar hidrokarbon yang bisa jadi green diesel, green gasoline dan lain-lain.

Menurut Ferian yang dipermasalahkan adalah karena dana BPDPKS itu semuanya diberikan pada perusahaan produsen biodiesel sehingga seolah-olah mensubsidi perusahaan. Padahal dibalik itu ada pembelian besar-besaran TBS petani.

Kalau tidak ada program biodiesel maka akan ada kelebihan suply CPO 6 juta ton. Saat ini program biodesel menyerap 6-9 juta ton CPO. Kalau program ini berhenti maka pasokan CPO melimpah, harga turun dan harga TBS petani ikut turun.

Sementara itu secara terpisah, Gamal Nasir, ketua Dewan Pembina POPSI (Persatuan Organisasi Petani Sawit Indonesia) dari hasil pertemuan dengan Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman, ada beberapa poin yang disampaikan.

Pertama kebijakan alokasi dana lebih besar untuk biodiesel dibanding untuk petani adalah kebijakan pemerintah lewat Komite Pengarah dan bukan kebijakan BPDPKS sendiri. BPDPKS telah mentransfer dana Rp2,6 triliun untuk PSR, tetapi yang sudah dicairkan hanya Rp750 miliar.

Asosiasi petani diminta membantu supaya dana yang diberikan bisa dimanfaatkan secara optimal sehingga bisa jadi kebun. Dana yang dianggap kecil saja belum dimanfaatkan, padahal BPDPKS berniat benar-benar membantu petani.

Baca Juga:  PERISAI 2024, Kabar Gembira dari Menko Perekonomian

Program biodiesel yaitu B30 merupakan program yang bagus untuk stabilisasi harga CPO. Kalau tidak ada program ini maka akan terjadi oversuply sehingga harga CPO turun dan ujungnya akan menurunkan harga TBS juga. Ini juga merupakan upaya untuk melawan pembatasan pasar di Eropa dengan lebih banyak penggunaan di dalam negeri.

Program biodiesel sama sekali tidak mensubsidi pengusaha tetapi konsumen akhir. Dana biodiesel sebesar Rp29,2 triliun bukan habis untuk pengusaha tetapi digunakan rakyat pengguna biodiesel.

Pengusaha tidak disubsidi karena mereka menjual ke Pertamina sesuai dengan harga pasar. Pertamina membeli sesuai dengan harga solar. Selisih antara harga solar dan harga pasar ini yang dibayar BPDPKS.

Jadi dana ini bukan insentif bagi pengusaha biodiesel. Pertamina harus menjual biosolar dengan harga Rp5150/liter sedang biaya produksi Rp8000/liter. Maka selisih ini yang dibayar BPDPKS. Kalau Pertamina boleh menjual harga biosolar Rp10.000/liter maka tidak perlu ada subsidi.

Menanggapi pernyataan Dirut BPDPKS, Gamal Nasir menyatakan petani tidak mungkin menentang program pemerintah soal biodiesel ini. Petani hanya mengharapkan keadilan saja proporsi dana untuk petani sesuai dengan kontribusinya. Produsen biodiesel juga diminta supaya CPO yang diolah menggunakan TBS petani minimal 50%.

Secara terpisah, Tungkot Sipayung dari PAPSI (Palm Oil Agribusiness Policy Institute) menyatakan program B30 adalah mandatory untuk menggantikan energi fosil dengan energi yang lebih ramah lingkungan, jadi tidak perlu dicampurbaurkan dengan masalah penggunaan dana BPDPKS. Untuk keadilan karena petani luas lahan mencapai 40% maka sebaiknya dana BPDPKS yang dikembalikan pada petani untuk berbagai program sebesar 40% juga dari dana yang dihimpun tanpa mengkaitkannya dengan dana untuk biodiesel.

B30 subsidi diberikan hanya untuk biodiesel yang dijual di SPBU saja untuk masyarakat karena harga jual solar Rp5150/liter. Sedang B30 untuk keperluan industri tidak ada subsidi karena harga jualnya sudah Rp12.000/liter. B30 adalah instrumen yang sangat ampuh menjaga pasokan CPO dunia karena serapannya mencapai 6 juta ton. Kalau tidak ada program ini maka dunia akan kelebihan stok CPO, harga turun dan imbasnya pada harga TBS petani juga.

Baca Juga:  Kopi Robusta Lombok Didorong Go Internasional