BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) fungsinya hanya memungut dana dan menyalurkannya untuk kepentingan kelapa sawit. Dana yang disalurkan merupakan program kementerian terkait, seperti peremajaan merupakan wewenang Ditjen Perkebunan, Kementan.
“Jadi setelah rekomtek dari Ditjenbun keluar seharusnya BPDPKS tinggal menyalurkan saja. Tidak perlu melakukan verifikasi lagi, bahkan sampai ke kebun. Membangun kebun merupakan hal teknis yang sudah jadi wewenang Ditjenbun. BPDPKS tidak perlu mengurusi hal teknis.,” kata Achmad Mangga Barani, Ketua Umum Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan.
Tanggung jawab pembangunan kebun sampai jadi dan menghasilkan ada di Ditjenbun. BPDPKS berhenti hanya sampai penyaluran dana sesuai rekomtek saja. Tidak perlu ikut-ikutan dalam proses budidayanya.
BPDPKS sejak awal terbentuknya sebenarnya sudah tidak sesuai aturan. BPDPKS lahir karena subsidi biodiesel Rp1000/liter dari APBN tersendat-sendat, sehingga Kemenko Perekonomian mencari landasan hukum yang memungkinkan membentuk lembaga yang bisa memungut dana kemudian menyalurkan untuk biodiesel.
Landasan hukum itu ada di UU nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan pasal 93. Selanjutnya diturunkan lewat Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan yang ditindaklanjuti dengan Perpres 61/2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Kelapa Sawit jo Perpres 24/2016 jo Perpres 66/2018. Selanjutnya lewat Peraturan Menteri Keuangan nomor 113/PMK.01/2015 tentang organisasi dan tata kerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit lahirlah BPDPKS.
“Semua aturan ini lahirnya bersamaan dan sangat dipaksakan karena terdesak harus membuat lembaga untuk membiayai biodiesel. Padahal kalau menurut UU Perkebunan , badan penghimpun dana ini seharusnya berada di bawah Kementan,” kata Mangga lagi.
UU perkebunan mengamanatkan terbitnya 27 Peraturan Pemerintah supaya bisa operasional. Tetapi sampai saat ini hanya ada satu PP saja, sedang PP lainnya belum ada.