Jambi, Mediaperkebunan.id
DPP (Dewan Pimpinan Pusat) ASPEKPIR Indonesia bekerjasama dengan BPDPKS melakukan road show Pertemuan Teknis Percepatan dan Peremajaan PSR ke DPD-DPD (Dewan Pimpinan Daerah) ASPEKPIR di 6 provinsi. Pertemuan pertama di laksanakan di Jambi bersama DPD ASPEKPIR Jambi, Rabu (29/6).
DPP ASPEKPIR diwakili oleh Bendahara Sutoyo dan Ketua Harian Juwita Yandi. Acara ini merupakan salah satu bentuk partisipasi ASPEKPIR untuk mensukseskan program PSR. Bagi ASPEKPIR kemitraan merupakan hal yang sangat penting. PSR adalah pintu masuk untuk dilakukannya kembali kemitraan antara pekebun dengan perusahaan yang selama ini sudah menurun.
Harapannya dengan PSR akan meningkatkan kesejahteraan petani anggota ASPEKPIR. Saat ini rekomtek yang sudah dikeluarkan 200.025 ha yang sebagian besar merupakan eks petani plasma/petani plasma yang masih aktif yang merupakan anggota ASPEKPIR. Masih ada 300.000 lagi potensi petani PIR yang belum digarap. ASPEKPIR akan ikut menggarap ini sehingga target realisasi PSR bisa tercapai.
Acara ini juga akan melatih pengurus ASPEKPIR dari berbagai daerah menjadi TOT (Training of Trainer) untuk selanjutnya di wilayah masing-masing melatih lagi sehingga petani plasma siap masuk ke PSR. Outputnya adalah menyiapkan sebanyak mungkin anggota ASPEKPIR siap PSR sehingga target bisa tercapai.
Diharapkan kemitraan yang sudah berjalan diperkuat, sedang yang terputus bisa dirajut kembali, dengan posisi petani mitra dan perusahaan sejajar, tidak ada satu pihak yang lebih tinggi atau lebih rendah. Menunjukkan pada dunia bahwa petani sawit yang bermitra dan dilatih dengan baik mampu melaksanan PSR dan kebunnya semakin sustainable sehingga tidak ada lagi alasan minyak sawit ditolak.
Tidar Bagaskara, Ketua GAPKI Jambi menyatakan, anggota GAPKi Jambi banyak yang merupakan pelaku sejarah kemitraan dengan menjadi pemitra pada program PIR tahun 1987-1995. Sekarang pada generasi ke dua masuk peremajaan banyak hal yang sudah berubah seperti pemilik kebun, regulasi sehingga kemiitraan masa lalu tidak bisa diterapkan begitu saja tetapi harus diselaraskan. Masih banyak yang perlu dibahas pada kemitraan fase dua ini.
Berbeda dengan generasi pertama yang dari nol, titik awal peremajaan ini berbeda, karena sudah punya pengalaman berkebun sawit sebelumnya. “Saya lihat pendampingan untuk proses administrasi sudah berjalan tetapi jangan lupa membangun kebun itu tidak sederhana. Ada kaidah agronomi yang harus dipenuhi. Pendampingan sampai kebun jadi dan menghasilkan ini yang belum ada,” kata Tidar.
Karena itu perlu ada petugas semacam ADO (Area Delopment Officer) pada jaman pembangunan PIR , untuk peremajaan mungkin namanya community replanting officer (CRO) yang bertanggung jawab atas areal peremajaan 1000 ha misalnya. CRO ini menjadi jembatan antara petani, perusahaan mitra dan kontraktor lanc clearing, juga dengan penangkar.
Kepala Dinas Perkebunan Jambi , Agurizal menyatakan di Jambi banyak kemitraan yang sudah putus. Melalui PSR, ASPEKPIR diharapkan bisa menjembatani kembali kemitraan ini. Pemprov Jambi sendiri sudah punya perda yang akan ditindaklanjuti dengan pergub yang akan memaksa perusahaan untuk bermitra dengan pekebun sekitarnya.
Akan ada sistim zonasi sehingga PKS sesuai kapasitasnya dimitrakan dengan petani sekitarnya. Dengan cara ini tidak ada lagi TBS yang dijual ke PKS yang butuh dua hari baru sampai untuk mengejar selisih harga Rp100/kg.
“Kemitraan lewat pergub ini tetap harus saling menguntungkan. Harus ada surat perjanjian kerjasama yang disepakati keduabelah pihak dan harus sama-sama ditaati. Pemprov Jambi akan membentuk tim pengawas,” katanya.
Target PSR di Jambi tahun ini 18.000 ha sedang usulan yang sudah masuk baru 6.000 ha. Wilayah eks PIR di Jambi ada 90.000 ha yang tersebar di 7 kabupaten. ASPEKPIR Jambi diminta mendorong petani PIR yang sudah melakukan waktunya peremajaan untuk ikut.
Heru Tri Widarto, Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Ditjenbun menyatakan tahun ini PSR agak tersendat dibanding tahun lalu karena ada berbagai macam permasalahan terkait temuan BPK. ASPEKPIR baik pengurus pusat maupun daerah diminta untuk ikut membantu mendampingi anggotanya sehingga target PSR bisa tercapai. Tahun ini jalur pengajuan hanya melalui dinas perkebunann, sedang Surveyor Indonesia distop dulu untuk menyelesaikan target tahun lalu.
Jambi tahun ini ditargetkan 18.000 ha yang tersebar di Batanghari 1.500 ha, Bungo 1.500 ha, Merangin 4.000 ha, Muaro Jambi 4.000 ha, Sarolangun 1.000 ha, Tanjung Jabung Barat 4.000 ha, Tebo 1.000 ha dan Tanjung Jabung Timur 1.000 ha.
Untuk mempercepat PSR saat ini sedang digodok jalur baru dimana perusahaan bisa langsung mengajukan petani mitranya ke BPDPKS tanpa lewat dinas perkebunan kabupaten, provinsi dan ditjenbun. Karena ini merupakan perintah komite pengarah saat ini sedang dibuat aturannya.
Roy Asnawi, Ketua DPD ASPEPKIR Indonesia Jambi menyatakan selama ini dengan biaya sendiri pengurus ASPEKPIR Jambi sudah bergerak melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Contohnya yang dilakukan Suswiyanto pengurus ASPEPKIR Jambi bersama dengan Ali Murthada dari ASPEKPIR Muaro Jambi. Di Muaro Jambi tahun 2020 hasil pengurus ASPEKPIR adalah total luas 3.080,93 ha 1.549 pekebun, dana yang sudah tersalur 624,22 ha 287 pekebun; sedang diambil titik koordinat 209,26 ha 83 pekebun, belum diambil titik koordinat 1.668,3 ha dengan 200 KK, sedang dalam proses kelembagaan 579 ha 267 KK. Kelembgaan petani kelapa sawit ada 18 baik koperasi, KUD, Gapoktan dan Poktan.
Menurut Ali proses sosialisasi tidak mudah, terutama mereka mempertanyakan makan apa ketika proses replanting. ASPEKPIR sudah tidak menyiapkan program ternak ayam, pemeliharaan lele, dan sekarang masyarakat sangat antusias.
Noval dari ASPEKPIR Tebo menyatakan masalah utama yang dihadapi adalah proses administrasi yang lama. Pihaknya sudah mengurus dan sudah satu tahun terus menghadapi masalah kurang dokumen,