Jakarta, mediaperkebunan.id – Suka tidak suka bahwa dengan tanaman bioteknologi tidak hanya dapat meningkatkan produksi ditengah-tengah terbatasnya lahan, tapi juga dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Salah satu benih bioteknologi yang sudah berjalan pada komoditas perkebunan yakni tebu dan kelapa sawit.
Dr. Irdika Mansur, Direktur SEAMEO BIOTROP menyampaikan bahwa penelitian dan pengembangan bioteknologi tanaman di BIOTROP meliputi berbagai hal. Diantaranya yakni pertama, rekayasa genetika untuk mendapatkan bibit unggul.
“Kedua, identifikasi dan kloning gen ketahanan terhadap hama dan penyakit. Terakhir, kultur jaringan tanaman untuk penyediaan bibit unggul,” jelas Dr. Irdika dalam sebuah Webinar.
Lebih lanjut Dr. Irdika menjelaskan dalam penelitian rekayasa genetika, Biotrop telah berhasil mentransformasi rumput laut dengan menggunakan perantara Agrobacterium tumefaciens untuk mendapatkan ketahanan terhadap hiposalin (2016 – 2018) yang dilakukan oleh Dr. Erina Sulistiani.
Selain itu, di bidang kultur jaringan, Biotrop juga telah mengembangkan tanaman yang bernilai ekonomi tinggi seperti kayu jati, jabon, sengon, chesnut, anubias, talas satoimo, gaharu, kayu putih dan beberapa tanaman lokal langka.
Bibit tanaman yang diproduksi oleh lab Kultur Jaringan memiliki tingkat kematian yang sangat rendah.
Sementara itu, Prof. Dr. Antonius Suwanto menjelaskan, bahwa penerapan bioteknologi konvensional menggunakan peran organisme tertentu dengan teknik dan teknologi yang sederhana.
Contoh penerapan bioteknologi konvensional misalnya dalam fermentasi anggur, pembuatan tape, dan pembuatan tempe. Sedangkan bioteknologi modern merupakan teknik pemanfaatan organisme dalam tingkat seluler maupun molekuler dengan didukung teknologi yang canggih.
“Sehingga dalam hal ini, di bidang pertanian, bioteknologi sudah cukup dikenal dari zaman kuno hingga sekarang. Adapun manfaat bioteknologi dalam bidang pertanian diantaranya dapat digunakan untuk menciptakan varietas unggul, membantu proses pembibitan, dan mengatasi keterbatasan lahan selain dapat mengendalikan hama tanaman,” papar Prof. Dr. Antonius.
Dr. Rhodora Aldemita dari ISAAA pun mengakui, saaat ini sebanyak 70 negara telah mengadopsi tanaman biotek baik lewat budidaya maupun impor di tahun 2018, tahun ke-23 dari adopsi tanaman biotek berkelanjutan.
Hal ini tertuang dalam laporan yang dirilis oleh ISAAA tentang Status Global Tanaman Bioteknologi atau Hasil Rekayasa Genetika pada tahun 2018.
Lebih lanjut, sebanyak dua puluh enam negara (21 negara berkembang dan 5 negara industri) telah menanam 191,7 juta hektar tanaman biotek, yang artinya bertambah 1,9 juta hektar dari tahun 2017.
“Adopsi tanaman biotek secara terus menerus oleh para petani di seluruh dunia menunjukkan bahwa tanaman biotek terus membantu memenuhi tantangan global kelaparan, malnutrisi, dan perubahan iklim,” ungkap Dr. Rhodora.
Dr. Rhodora juga menerangkan, bahwa Teknologi rekayasa genetika telah berkontribusi pada semua aspek ketahanan pangan yaitu dengan meningkatkan hasil dan mengurangi kerugian, teknologi ini berkontribusi pada ketersediaan pangan bagi lebih banyak keluarga.
“Di Asia, untuk pertama kalinya Indonesia menanam tebu toleran kekeringan yang dikembangkan melalui kerjasama kemitraan publik (Universitas Jember) dan swasta (Ajinomoto Ltd.),” jelas Dr. Rhodora.
Dr. Dahri Tanjung dari Care IPB menambahkan, terkait hasil studi ex-ante yang dilakukan untuk mengetahui dampak sosial ekonomi dari pengembangan kentang biotek di Indonesia. Bahkan harus diakui bahwa benih yang dihasilkan dari bioteknologi akan memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah tahan terhadap hama dan penyakit, mengurangi kehilangan produksi, menghemat biaya produksi, memiliki kandungan nutrisi yang bagus dan tampilan fenotipe yang bagus.
Selain itu, dampak ekonomi yang disebabkan dengan penggunaan benih kentang biotek yang dapat dinikmati antara lain: peningkatan ekspor dan penurunan impor, kemungkinan naiknya devisa, meningkatnya pendapatan petani kentang dan kesempatan kerja juga meningkat.
Sedangkan, Dr. Graham Brookes dari PG. Economics Limited menjelaskan dampak sosial ekonomi tanaman hasil rekayasa genetika periode 1990 – 2018.
Kemudian pada tahun 2018 jugalah, petani di negara berkembang menerima 4,42 US dollar tambahan pendapatan tambahan untuk masing-masing uang ekstra yang diinvestasikan dalam benih tanaman RG, sedangkan petani di negara maju menerima 3,24 US dollar sebagai pendapatan tambahan untuk setiap dolar tambahan yang diinvestasikan dalam benih tanaman RG.
“Artinya dari tahun 1996 hingga 2018, keuntungan pendapatan bersih pertanian global adalah 225 miliar dollar, sama dengan peningkatan pendapatan rata-rata sebesar 96,7 dolar per hektar,” ungkap Dr. Graham.
Dr. Graham juga menerangkan, bahwa teknologi tanaman RG telah meningkatkan hasil melalui perbaikan pengendalian hama dan gulma. Misalnya, teknologi tanaman tahan serangga (IR) yang digunakan pada kapas dan jagung, antara tahun 1996 hingga 2018, di antara semua pengguna teknologi ini, meningkatkan hasil panen rata-rata 16,5 persen untuk jagung IR dan 13,7 persen untuk kapas IR dibandingkan dengan produksi konvensional. sistem.
“Petani yang menanam kedelai IR secara komersial di Amerika Selatan telah melihat peningkatan hasil rata-rata 9,4 persen sejak 2013,” pungkas Dr. Graham. (YIN)