Tidak ada yang tidak mungkin jika mau berusaha termasuk komitmen untuk mengurangi sampah plastik, diantaranya dengan menggunakan bio plastik.
Memang benar saat ini indoensia memiliki luas kebun kelapa sawit sekitar 11 juta hektar, maka sangatlah wajar jika saat ini Indonesia sebagai penghasil crude palm oil (CPO) nomor satu di dunia. Melihat besarnya luas perkebunan kelapa sawit yang ada saat ini maka Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) terus melakukan riset untuk membuat produk-produk turunan dari tanaman minyak emas ini.
“Sesuai dengan sifatnya yang multi fungsi dan harganya yang relatif bersaing dengan minyak nabati lain, bukanlah suatu hal yang mengherankan bila permintaan minyak sawit akan terus berkembang. Selain untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sebagai bahan baku untuk produk-produk kimia, saat ini minyak sawit juga diminati sebagai bahan baku alternatif untuk energi (biofuel),” jelas Peneliti PPKS, Tjahjono Herawan kepada Media Perkebunan.
Melihat hal ini, maka menurut Tjahjono sangat disayangkan jika industri tidak bisa memaksimalkan tanaman kelapa sawit. Hal ini lantaran kelapa sawit tidak hanya dapat digunakan untuk kebutuhan pangan, produk produk kosmetik dan kimia berbasis oleokimia dan biofuel saja, tapi bisa juga untuk bio plastik.
Seperti diketahui, Indonesia dengan jumalah penduduk terbesar nomor empat didunia yaitu sekitar 255 juta jiwa, maka tidaklah heran jika Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik terbesar nomor dua di dunia.
“Jadi yang membedakan antara bio plastik dengan plastik konvensional adalah sifatnya yang mudah terurai secara biologi (bio degradable). Plastik konvensional tidak mudah terurai secara alami selama puluhan bahkan ratusan tahun, sementara bio plastik dalam hitungan tahun bahkan ada yang hanya beberapa bulan sudah dapat terurai secara alami. Dengan demikian bioplastik jauh lebih ramah lingkungan,” ungkap Tjahjono.
Lebih dari itu, Tjahjono menambahkan bahwa kedepan kebutuhan untuk bio plastik ini sangatlah menjanjikan. Sebab saat ini kebutuhan plastik di Indonesia sangat tinggi, dimana market share sebesar 60% dikuasai oleh industri kemasan makanan dan consumer goods.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), kebutuhan plastik Indonesia pada kuartal pertama tahun 2013 mencapai 1,9 juta ton, dan kemudian melonjak menjadi 3,4 juta ton pada akhir 2013.
Sedangkan kapasitas terpasang efektif industri plastik nasional adalah sekitar 1,6 juta ton per tahun sehingga produksi plastik nasional tidak mencukupi kebutuhan plastik dalam negeri. “Oleh karena itu, sekitar 50% dari kebutuhan plastik diimpor dan angka impor ini terus meningkat sebesar 11.7% per tahun,” ucap Tjahjono.
Di sisi lain, Tjahjono menerangkan bahwa industri produsen biji plastik mulai kesulitan memperoleh plasticizier dan monomer biji plastik yang umumnya berasal dari minyak bumi. Sebagian besar bahan kimia tersebut diimpor dari industri petrokimia luar negeri dengan harga yang mahal. Hal ini menyebabkan beberapa harga kemasan plastik menjadi mahal, bahkan lebih mahal dari pada harga produk yang dijual.
Memang bio plastik masih sesuatu yang relatif baru dikembangkan. Namun seiring dengan bertambahnya kepedulian masyarakat dalam menjaga lingkungan, maka kebutuhan akan bio plastik juga semakin meningkat.
Bahkan produksi bio plastik dunia saat ini baru mencapai kurang dari 1% dari total produksi plastik (total produksi plastik dunia yaitu 300 juta ton per tahun). Diperkirakan kebutuhan bioplastik Dunia akan meningkat dari 1,7 juta ton pada tahun 2014 menjadi 7,8 juta ton pada 2019. “Maka hal ini menunjukkan begitu besarnya potensi dan pasar bioplastik di dunia,” tutur Tjahjono.
Bahkan, Tjahjono memastikan walapun sifat fisikanya, kekuatan tarik bioplastik lebih rendah daripada plastik konvensional, sehingga bioplastik tidak dapat menahan beban sebaik plastik konvensional. Namun dengan teknologi tertentu kelemahan tersebut dapat diatasi, meskipun masih belum sebaik plastik konvensional.
Artinya seiring menjamurnya mini market yang ada di Indonesia, bahkan saat ini sudah masuk ke desa-desa, maka potensi bio plastik ini untuk menggantikan posisi plastik konvensional sangatlah baik.
Sehingga dalam hal ini Indonesia bisa memperkecil limbah plastik yang sulit terurai dan menggantinya dengan bio plastik yang mudah terurai.
“Hal ini karena bahan utama bioplastik yang dikembangkan oleh PPKS adalah selulosa tandan kosong kelapa sawit (TKS) dan asam lemak sawit,” ucap Tjahjono.
Adapun caranya, Tjahjono menguraikan yaitu untuk satu kg bio plastik membutuhkan 300 gram selulosa tandan kosong sawit. Setiap tandan kosong sawit segar (kering) mengandung sekitar 15-20% alfaselulosa. Jadi untuk 1 kg bioplastik memerlukan tandan kosong sawitsegar (basah) sekitar 11 kg. Selain itu juga diperlukan sekitar 700 gram asam lemak sawit.
“Jadi pembuatan bioplastik dari mulai proses persiapan bahan baku (ekstraksi selulosa) hingga menjadi bioplastik memerlukan waktu sekitar 2 – 3 hari,” terang Tjahjono.
Melihat fakta ini, Tjahjono menyarankan, ”karena bio plastik ramah lingkungan, maka kedepan bio plastik ini sebaiknya bisa digunakan secara masal untuk mengurangi limbah plastik.” YIN