Jakarta, Media Perkebunan.id.
Industri sawit memerlukan dukungan untuk menjaga keseimbangan produksi dan konsumsi; penyerapan konsumsi sawit dalam negeri penting dalam upaya menjaga kestabilan harga. Bio-pass merupakan upaya BPPT dalam rangka peningkatan penyerapan minyak sawit nasional untuk penyediaan bahan baku yang bersumber dari produk terbarukan bagi industri batik. Hamman Riza, Kepala BPPT menyatakan hal ini.
Inovasi Bio-pass diharapkan jadi pendorong dan inspirasi masyarakat khususnya terkait industri batik bahwa banyak sumber daya dalam negeri bisa digunakan dalam proses batik. Juga menggantikan parafin yang merupakan produk impor dan meningkatkan serapan produk sawit dalam negeri.
Eddy Abdurrachman, Dirut BPDPKS menyatakan malam batik sawit semakin menambah manfaat sawit bagi perekonomian nasional. Harapannya adalah semakin meningkatkan permintaan produk berbasis sawt untuk industri kreatif dan menggantikan parafin impor. Dengan semakin besarnya kontribusi pada berbagai sektor maka pada ujungnya diharapkan meningkatkan kesehjahteran pada pekebun.
Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB) BPPT Soni Solistia Wirawan menyebut, kebutuhan paraffin batik pada tahun 2019 adalah 36.000 ton yang melibatkan lebih dari 55.000 perusahaan batik skala kecil maupun menengah. Keunggulan Bio-pass karena terbuat dari bahan yang dapat diperbarui, halal, ramah lingkungan dan dapat meningkatkan nilai tambah tanaman sawit.
Pembuatan malam batik berbahan baku sawit ini merupakan kegiatan inovasi teknologi BPPT yang diawali beberapa tahun lalu. Diawali penyusunan formula malam batik dan diujikan di Balai Besar Kerajinan dan Batik-Kementerian Perindustrian di Jogyakarta, kemudian dilanjutkan pengenalan produk inovasi ini kepada pengrajin pada industri kreatif batik guna memperoleh masukan dalam menyempurnakan kualitas malam batik berbahan baku sawit ini.
Diharapkan masyarakat industri batik dapat lebih berdaya dalam menghadapi tantangan yang ada dan menjadikan BPPT sebagai bagian solutif dalam mengatasi permasalahan nasional serta penghela pertumbuhan perekonomian masyarakat di tingkat lokal, regional maupun, nasional.
Komarudin Kudiya, Ketua Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia menyatakan sebelum pandemi total produksi batik 1.532.392 potong/bulan kebutuhan lilin 460 ton/bulan dengan iulai Rp252 miliar/tahun, setelah pandemi 383.098 potong/tahun kebutuhan lilin 114 ton/bulan atau Rp62,4 miliar/tahun. Harga lilin Rp45.000/kg, kebutuhannya 300 gr/potong batik.
“Saya bangga dengan inovasi Bio-pass ini. Diharapkan kualitasnya lebih bagus dari parafin yang selama ini dgunakan dan harganya lebih murah. Ketika pertama kali dicoba di tenpat saya ternyata sangat lengket sekali. Saya sampaikan ke BPPT dan pada uji coba berikutnya sudah bagus, tidak lengket. Berarti ada perbaikan terus menerus. Hal yang paling penting adalah harganya jangan melibihi harga parafin yang ada sekarang,” katanya.
Syarat utama malam batik adalah tahan dan tidak mudah rapuh terhadap zat kimia soda kustik; daya tahan tembus kebasahan tingg; fleksibel/lemas tidak mudah pecah dalam segala kondisi cuaca; memperoleh gambar motif dengan garis tajam; mudah dilepas saat dilorod; tidak meninggalkan warna pada kain; mudah membeku;tidak lengket; harga terjangkau.
“Kemi mendukung temuan baru terkait batik, Setiap temuan tolong tunjukkan pada kami benar-benar mendatangkan manfaat, kualitas dan harganya bagus. Khusus untuk Bio-pass disarankan ada lokasi tertentu yang benar fokus dengan pelarangan penggunaan malam batik lain,” katanya.
Indra Budi, peneliti Bio-pass dari Pusat Teknologi Agroindustri BPPT menyatakan formula malam batik berkembang mengikuti keberadaan sumberdaya. Parafin sendiri merupakan produk baru sebagai malam batik, karena baru ditemukan tahun 1830 berasal dari minyak bumi, sedang batik dibuat sejak abad 16.
Sebelum parafin yang digunakan sebagai malam batik adalah keto (lilin sarang lebah). Parafin baru digunakan sebagai malam batik tahun 1901 di Cepu. Fraksi minyak sawit sangat memenuhi syarat untuk menjadi malam batik.