Pemerintah sepertinya perlu meninjau ulang substansi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dldalam Kawasan Hutan. Ini karena Perpres tersebut dinilai menghambat program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Pengamat hukum Kehutanan Dr Sadino mengatakan, salah satu subtansi isi yang perlu ditinjau ulang menyangkut pengecualian perkebunan sawit masyarakat dalam konteks lahan garapan yang bisa disertifikasi.
Hal ini, karena pasal 5 Perpres itu menyebutkan lahan garapan hanya berupa sawah, ladang kebun campuran tambak. “Akibatnya, ketika pejabat di daerah menemukan perkebunan sawit masyarakat teridentifikasi masuk kawasan hutan, mereka tidak berani menyelesaikan persoalan tersebut dengan menggunakan perpres 88/2017,” kata Sadino.
Lebih dari itu, menurut Sadiono, kebijakan tersebut tidak hanya menghambat program PSR, tapi juga menghambat sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang telah menjadi program pemerintah.
Sebab, dalam Perpres tersebut, Badan Pertananan Nasional (BPN) mesyaratkan program peremajaan sawit swadaya hanya bisa dilakukan pada perkebunan yang telah disertifikasi.
Sehingga, Dosen Fakultas Kehutanan IPB DR Sudarsono Soedomo menilai, sebaiknya Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan perlu direvisi. Ini karena tidak mengakomodasi kewenangan Presiden yang tertuang dalam amanat UU 41 tahun 1999 sebagai pengganti UU 5 tahun 1967.
Kemudian, dalam keputusan MK No.45/PUU-IX/2011 telah mengubah UU 41 tahun 1999 menjadi Kawasan hutan sebagai wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Pemerintah yang dimaksudkan berdasarkan UU 26/2007 dan UU 41/2009 adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia dan bukan Menteri LHK. Akibatnya, Perpres 88/2017 terperangkap dalam pemaknaan yang keliru dalam memahami UU 41 tahun 1999.
“Herannya, sampai hari ini menteri KLHK masih dengan seeenaknya melakukan melakukan penunjukan kawasan hutan. Seharusnya, Pemerintah dalam hal ini Presiden perlu mengingatkan Menteri KLHK bahwa klaim sepihak merupakan tindakan ilegal yang mempunyai dampak besar bagi ekonomi kerakyatan,” ucap Sudarsono.
Sehingga, Sudarsono mengingatkan, dalam pengukuhan kawasan hutan, ada empat tahapan yang harus dijalankan yaitu penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan batas kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan.
“Pertanyaan besarnya, apakah Menteri LHK menjalankan seluruh tahapan tersebut. Dalam penataan batas kawasan saja seharusnya melibatkan masyarakat yang berada di sana. Namun hal itu tidak dilakukan karena hingga kini konflik dengan masyarakat tidak pernah tuntas,” papar Sudarsono.
Melihat hal terseut, Sudarsono menilai, penunjukkan kawasan oleh Menteri LHK, juga menimbulkan persoalan baru terhadap rencana tata ruang wilayah. “Jika mengikuti UU, seharusnya pengukuhan satu kawasan hutan dilakukan dengan tetap memperhatikan rencana tata ruang wilayah,” terang Sudarsono.
Artinya, Sudarsono menjelaskan, “bahwa dengan klaim sepihak penetapan satu kawasan hutan tanpa berkoordinasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, bisa dikatakan, hampir seluruh kawasan hutan yang ditetapkan Menteri LHK itu illegal karena merusak tatanan tata ruang yang telah ada sebelumnya.” YIN