Jakarta, perkebunannews.com – Memang saat ini harga karet alam mulai ada kenaikan. Tapi meski ada kenaikan harga petani justru tidak tersyum. Sebab kenaikan harga tersebut disebabkan karena turunnya produksi akibat serangan wabah jamur.
Artinya, bahwa naiknya harga karet karena turunnya produksi karet internasional. Sedangkan turunnya produksi karet internasional lebih disebakan karena adanya serangan penyakit jamur kepada perkebunan keret di tiga negara sebagai produsen karet dunia.
Mengutip laman vibiznews.com awal seperti perkebunan karet di Indonesia yang diserang sekitar 380.000 hektar, di Thailand sekitar 52.000 hektar dan di Malaysia sekitar 5.000hektar. Alhasil dari serangan wabah jamur tersebut maka mengurangi produksi karet dunia sebersar 70- 90 persen.
Adanya serangan wabah jamur terhadap perkebunan karet diakui oleh Ketua Asosiasi Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo.
Bahkan menurut Moenardji, serangan jamur tersebut diduga muncul sejak 2017 dan semakin meningkat pada tahun 2019. Akibat serangan jamur, produksi karet tahun 2019 diprediksi mengalami penurunan 500 ribu ton dibanding tahun 2018 yang sempat mencapai 3,7 juta ton.
Bukti nyata, akibat dari serangan jamur yang memukul produksi karet asal Indonesia karena sebagian besar perkebunan karet di Indonesia dikuasai oleh petani. Sebab berdasarkan catatan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian bahwa dari total luas perkebunan karet yang mencapai kurang lebih 3,6 juta hektar, sekitar 3,1 juta hektarnya dikuasai oleh petani.
AKibatnya dengan pendapatan yang kecil, petani tidak mampu merawat atau menyembuhkan perkebuan milinya, yang berakibat produksi menurun.
“Ini adalah suatu lesson to learn, suatu pengalaman yang harus dipelajari dunia international, pada market. Jangan main-main, harga rendah yang terlalu lama itu telah menyakiti pohon karet dan petani nggak bisa merawat,” terang Moenardji.
Melihat kondisi tersebut, Moenardji mengakui bahwa pengusaha menaruh perhatian lantaran sebaran jamur dilaporkan semakin meluas di negara-negara tetangga. Meski demikian, dalam catatannya pada semester I-2019 ekspor karet alam turun sebesar 200 ribu ton dibanding periode yang sama tahun 2018.
“Penyakit sudah menyebar. Kami dengar dari International Rubber research Development board di Jogja kemarin sudah menyebar. Di Malaysia pasti sudah ada. Di Thailand, Srilanka, India sudah ada kalau nggak salah. Hati-hati harga terlalu rendah itu dikira kuat terus,” tutur Moenardji.
Artinya, Moenardji berharap jika penyerapan pasar domestik bisa besar maka bisa menjadi solusi untuk mengakhiri anomali ini. Sehingga dengan penyerapan dalam negeri yang besar bisa membantu petani karet.
Disisi lain, Dewan Pengawas Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (GAPERINDO) Gamal Nasir berharap adanya kemitraan antar perusahaan dan petani jangan hanya sebatas pembelian untuk bahan baku industri.
Tapi berikanlah juga pembinaan teknis guna meningkatkan kualitas dan kuantitas. “Saya kira kalau ini bisa dilakukan maka produksi karet akan meningkat baik kualitas ataupun kuantitas,” himbau Gamal.
Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara penghasil karet alam terbesar kedua di dunia. Pada 2018, Indonesia memproduksi 3,63 juta ton dari lahan perkebunan karet seluas 3,67 juta hektare. Indonesia mengekspor 83 persendari total produksi karet alam atau sebanyak 2,95 juta ton dengan nilai USD 4,16 miliar. YIN