Dari target peremajaan sawit rakyat 185.000 tahun 2018 ini petani yang tergabung dalam ASPEK PIR (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Rakyat) diharapkan bisa 150.000 ha sedang sisanya petani kelapa sawit lain. Petani PIR punya potensi sebab PIR, PIR Bun, PIR Trans, PIR KKPA ada 617.000 ha dan sebagian besar sudah waktunya diremajakan. Dirjen Perkebunan, Bambang, menyatakan hal ini dalam pertemuan dengan ASPEK PIR.
Ditjenbun terus melaksanakan penyempurnaan untuk memudahkan petani mendapat dana BPDPKS Rp25 juta/ha tetapi tetap sesuai aturan. Penyederhanaan misalnya dari semula kluster minimal 300 ha mejadi 50 ha. “300 ha gampang kalau perkebunan besar. Tetapi perkebunan rakyat kecil-kecil sehingga susah.Pedoman umum yang dikeluarkan Ditjenbun merupakan gambaran sesederhana mungkin supaya petani bisa menikmati dana BPDPKS. Prinsipnya mau membanntu petani jangan susah dengan macam-macam persyaratan,” katanya.
Bambang ingin supaya petani yang berperan besar. Dana yang dihimpun untuk digunakan sebesar-besarnya kepentingan petani ini harus ditangkap. Petani yang melaksanakan sendiri peremajaan dengan kelembagaannya yang kuat. “Kita sudah berjuang sehingga tahun ini bisa 185.000 ha. Petani yang sekarang harus bergerak. Sayang kalau tidak dimanfaatkan,” kata Bambang lagi.
Ditjenbun yang ditunjuk oleh negara mengurus masalah perkebunan akan terus memperjuangkan kepentingan petani. Karena itu perlu sinergi yang kuat dengan petani. Setelah mendapat Rp25 juta/ha dari BPDPKS, Ditjenbun mengupayakan supaya petani mendapat kredit murah yang cair tepat waktu dan ada grace period.
“ Saya ingin peremajaan dilaksanakan sendiri oleh petani dengan kelembagaanya yang kuat tetapi dalam konteks kemitraan dengan industri. Dalam posisi ini ada semangat berbagai keadilan petani dengan industri. Ini uangnya ada supaya petani mendapat lebih besar. Jadikan ini energi besar buat memperbaiki kelapa sawit Indonesia. Dana Rp 5 triliun digulirkan langsung pada petani. Kalau tahun ini realisasi 185.000 ha maka tahun depan 500.000 ha. Kalau ada daerah siap meskipun targetnya misalnya 30.000 ha tetapi kalau bisa 50.000 ha rekomtek akan diterbitkan 50.000 ha,” katanya.
Dana Rp25 juta/ha bisa digunakan untuk membeli benih sehingga industri penangkar benih di daerah bisa berkembang karena ada yang membeli dalam jumlah banyak. Petani bisa membeli benih bagus, pupuk, pestisida , benih jagung dan tanaman lain sehingga kesempatan kerja terbuka. Karena benihnya bagus maka tahun ke tiga sudah bisa panen. Uang beredar di daerah lebih banyak.
Dana yang dihimpun BPDPKS juga akan digunakan untuk menyelesaikan semua masalah sawit di Indonesia, terutama di on farm. Masalah kelapa sawit tidak akan pernah berhenti selama hulunya tidak diselesaikan. Kampanye negatif tidak akan berhenti meskipun tata kelola sudah baik. Jadi tidak perlu terlalu reaktif terhadap kampanye negatif tetapi bekerja memperbaiki.
“Permintaan tracebility dari negara konsumen belum bisa saya kabulkan karena nanti kasihan petani kita TBSnya tidak terjual. Kita tata sehingga tidak ada lagi sawit dalam kawasan hutan, tidak punya STDB (Surat Tanda Daftar Budidaya) , tidak bersertifikat ISPO, tidak ada sertifikat hak milik dan lain-lain,” kata Bambang lagi.
Akan dilakukan pendataan kebun kelapa sawit disetiap kabupaten sehingga tidak ada satupun petani dan perusahaan yang tidak terdata. Data dipelajari dan diidentifikasi kebun mana saja yang masuk kawasan. Setiap kebun yang masuk kawasan hutan diusukan untuk dilepas.
“Setiap kebun yang masuk dalam kawasan jangan disembunyikan tetapi merupakan kesempatan untuk minta dilepas. Mumpung Presiden Jokowi minta Menteri KLHK untuk menyelesaikan masalah kebun kelapa sawit dalam kawasan. Minta pada bupati untuk lakukan usulan pelepasan. Kalau tidak ada data bagaimana bupati tahu ada kebun dalam kawasan,” katanya.
Ditjenbun juga sedang mengusahakan dana BPDPKS bisa digunakan untuk biaya balik nama sertifikat bagi yang belum dibiayai oleh BPN. STDB merupakan kewajiban bagi pemda dan bukan instrumen perijinan sehingga tidak perlu membayar.
Dengan data petani dan perusahaan yang jelas maka pemda bisa membuat SK Kemitraan antara petani dengan perusahaan sehingga tidak ada lagi petani yang tidak bermitra. Tiap desa akan ada 1 petugas pendamping yang membina, mengatur dan mengawasi kemitraan. Gabungan beberapa desa akan ada unit pelayanan dan di beberapa kecamatan ada UPT. “Kalau semua diatur dengan baik maka petani, perusahaan dan pemerintah untung,” katanya.
Ada kesalahpahaman dalam peremajaan ini seolah-olah Dirjenbun tidak mau satu atap. “Dalam pedum ada boleh satu atap dimana replanting dan sesudahnya dikelola perusahaan, petani tinggal dibayar. Konsep ini cocok untuk petani “malas” yang tidak sempat ke kebun lagi. Tetapi petani yang mau bekerja jangan dibuat seperti itu. Petani jangan dididik menjadi pembantu tetapi manajer terhormat dikebunnya sendiri. Kita tidak pernah melarang satu atap. Justru perusahaan diminta membantu, tetapi kalau menghasilkan diserahkan pada petani. Petani dengan kelembagaannya yang melakukan tetapi tetap menjadi mitra perusahaan,” kata Bambang.
PMK sarana dan prasarana pertanian yang sudah keluar saat ini sedang disusun aturan penggunaanya oleh BPDKS dan Ditjenbun. Kalau kelembagaan petani di desa kuat diharapkan ada pengadaan eksavator tiap desa untuk pemeliharaan juga traktor.