2017, 20 Juli
Share berita:

Banyaknya produk turunan serta efisiensi dari minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO), maka pada dasarnya negara asing membutuhkannya tapi pura-pura tidak membutuhkannya.

Hal tersebut diungkapkan oleh Gubernur Kalimantan Utara, Irianto Lambrie, dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Institut Penelitian Inovasi Bumi (INOBU). Dalam diskusi tersebut turut hadir Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kaltim Riza Indra Riadi, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Nur Masripatin, Wakil Gubernur Papua Barat Mohammad Lakotani.

“Mereka (negara asing) para pembeli (CPO dan turunannya) sekarang mereka pura-pura saja untuk tidak mau tapi pada dasarnya mereka membutuhkannya. Sebab jika kita tidak jual ke mereka, sebenarnya mereka juga pusing. Sehingga ini lebih kepada persaingan bisnis. Jadi kita dipermainkan mereka.,” jelas Irianto.

Lebih dari itu, menurut Irianto, tanaman kelapa sawit juga bisa dikatakan tanaman pembangunan. Hal ini karena selain menghasilkan produk turunan yang cukup besar juga menyerap tenaga kerja. Terbukti, Malaysia memanfaatkan tanaman perkebunan kelapa sawit untuk meningkatkan ekonomi masyarakatnya.

Adapun mengapa di Malaysia tidak ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ataupun Non Government Organization (NGO) yang protes terhadap tanaman perkebunan kelapa sawit, hal ini karena tidak ada yang bisa dibayar oleh asing untuk memprotes kelapa sawit.

Berbeda dengan kondisi di Indonesia. Banyaknya NGO yang memprotes, lebih karena adanya pengangguran yang bisa dibayar. “Jadi di kita (di Indonesia) banyak pengangguran yang bisa dibayar untuk melakukan protes,” risau Irianto.

Bahakan, Irianto mengakui bahwa dahulu Malaysia belajar dari Indonesia dalam hal budidaya kelapa sawit yang baik dan benar. Tapi kini justru produktivitas nasional dan produk turunannya lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia yang lebih dahulu dalam mengembangkan kelapa sawit.

Baca Juga:  Seminar & Pameran PSR

Melihat hal ini maka alangkah baiknya penegmbangan kelapa sawit tidak hanya fokus kepada perluasan saja, tapi juga kepada peningkatan produktivitas dan produk hilir. Sehingga dengan begitu pembangunan dan kelestarian bisa sejalan.

“Meski begitu, memang 5 tahun kedepan kita akan berusaha mempertahankan 50 persen pembangunan dan 50 persen menjaga kawasan hutan, tapi itu tidak harga mati,” pungkas Irianto. YIN