2024, 21 Agustus
Share berita:

Jakarta, Mediaperkebunan.id – Kemitraan Pabrik Gula dan petani harus diperkuat untuk mencapai swasembada gula. Sistem beli putus yang sekarang banyak dikembangkan oleh PG swasta , sebaiknya tidak dilakukan untuk PG BUMN.

“Kembali ke sistem bagi hasil, jangan sistem beli putus. Kalau sistem beli putus ini berlanjut maka PG BUMN bisa mati duluan. Sistem beli putus hanya baik untuk petani untuk jangka pendek saja, petani mendapay harga tinggi tetapi tidak mendidik. Tebu hanya asal besar saja tetapi rendemen tidak diperhatikan. Petani bisa mengakali juga supaya brixnya tinggi tebu yang akan diambil samplingnya disiram air gula dulu,” kata Soemitro Samadikoen, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI)

Petani sebagai pemasok tebu ingin yang baik bagi PG. Kalau PG tutup petani sekitarnya juga yang susah. Petani ingin menjalin kemitraan dan sistem bagi hasil menjamin sistem ini berjalan. Sistem beli putus membuat hubungan petani dan PG hanya jual beli saja, tidak ada sesuatu yang mengikat.

Soemitro juga minta supaya impor GKM untuk jadi GKP jangan berlebihan. Momentum sekarang dimana harga gula di tingkat petani menguntungkan, harus benar-benar dijaga, jangan sampai harga turun. Kalau harga turun maka yang mati adalah PG (pabrik gula) duluan. Ini terjadi di Jawa Tengah.

Saat ini petani tebu di Jateng masih ada tetapi PGnya banya yang sudah mati. Tebu memang harus menggunakan benih yang bagus karena ditanam sekali untuk dipanen minimal 4 kali, kalau bagus bahkan bisa 12 kali. Masalahnya sekarang adalah pupuk.

Petani tebu sudah menyerah untuk mendapatkan pupuk subsidi dan sekarang beralih menggunakan pupuk non subsidi. Harga pupuk ZA non subsidi saat ini Rp3.850-5.500/kg, pupuk lain Rp3600-4000/kg.

Baca Juga:  PTPN XI Gencar Benahi PG yang Tak Efisien

“Saya punya pengalaman membeli pupuk non subsidi untuk petani 3.000 ton dengan harga Rp3.550/kg. Harus bayar cash Rp11 miliar baru pupuk bisa diantar. Pupuk Indonesia punya program makmur tetapi harganya juga tinggi,” kata Soemitro, ketua APTRI.

Pemerintah juga harus memperhatikan pengairan untuk petani tebu. Mengenai rendemen, menurut Soemitro banyaj juga unsur politisnya.

“Ketika PG berebut tebu dari petani saya pernah bawa ke PG A rendemen 8, kemudian PG B 9,7. Padahal tebunya sama, berarti ada masalah pada PG,” ujar Soemitro, ketua APTRI

Soemitro juga minta ada RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) untuk petani tebu sehingga bisa mendapatkan pupuk bersubsidi. Pendekatanya jangan HAP (Harga Acuan Pembelian) tetapi HPP (Harga Pokok Produksi) yang real menunjukkan biaya produksi tebu petani ditambah dengan keuntungan yang rasional.

Penetapan HET (Harga Eceran Tertinggi) pada konsumen dan HAP pada produsen, satu sisi mengendalikan harga tingkat konsumen, tetapi sisi lain menjadikan pasar tidak dinamis. Penghasilan petani tebu harus sebanding dengan komoditas lain.

Pemerintah harus punya stock gula yang dibeli dari petani. Bila dikemas dengan bagus maka gula bisa bertahan sampai 3 tahun. Kebijakan pergulaan nasional harus terintegrasi sehingga tidak ada ego sektoral yang membuat petani menjadi korban. Swasembada itu membangun ekosistem pergulaan.

Bisa dicapai dengan peningkatan produksi tebu/ha, peningkatan rendemen dan kualitas gula di PG, harga gula yang wajar dan pasar yang alami yang berujung pada peningkatan pendapatan petani. Sasaran awal 10 ton gula /ha untuk mencapai itu maka biaya produksi harus dibuat serendah mungkin sehingga kompetitif, keuntungan petani naik sehingga semakin bergairah, produksi nasional naik 5 juta ton sehingga terjadi pertambahan areal secara alami..

Baca Juga:  Harga Gula Dunia Ditentukan Impor Indonesia China dan Produksi Negara Berikut