Bogor, Mediaperkebunan.id
Petani tebu yang tergabung dalam APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) sangat mendukung kebijakan pemerintah untuk memodernisasi gula negara. Fatchuddin Rosyidi SH, Ketua Umum APTRI menyatakan hal ini pada FGD Gula 2022 PT RPN.
PG memberikan multiplier effect luar biasa dalam bidang ekonomi karena bersifat padat karya, tenaga kurang berpendidikan juga punya kesempatan kerja seperti tukang tebang, songgol sampai ada istilah tenaga kampaye karena pada musim giling banyak sekali serapannya.
Nilai tanah petani ketika PG masih beroperasi juga tinggi, bisa mencapai Rp15-20 juta/Ha biaya sewanya. Ketika PG di satu daerah ditutup maka nilai tanah pertanian di tempat itu langsung merosot biaya sewanya tinggal Rp6 juta/Ha saja. Pemilik lahan kehilangan nilai lahannya.
Lahan tebu semakin menurun dan animo petani untuk menanamnya berkurang karena saat ini ada komoditas lain yang lebih menguntungkan. Penyebab lain adalah bila ada penutupan PG maka tebu harus disetor ke PG lain yang jaraknya jauh dengan biaya tinggi maka sudah dipastikan petani tahun depannya tidak meneruskan budidaya tebunya. Selain itu penerimaan dana panen terlambat karena harus menunggu hasil lelang gula, padahal setelah tebang petani butuh biaya untuk garap dan kepras.
Swasembada gula bisa tercapai bila ada sinergi antara APTRI, PTPN/PT Gula dan pemerintah (pusat, pemprov dan kabupaten). Pemerintah pusat harus membuat kebijakan yang menguntungkan pergulaan nasional seperti tata niaga, pembiayaan; pemprov akselerasi peningkatan produktivitas seperti bantuan bibit; pemkab menyediakan lahan.
“Banyak yang menyatakan lahan tidak ada. Sebenarnya lahan masih banyak dan di kabupaten sudah dipetakan mana untuk tanaman pangan dengan ciri beririgasi teknis dan keperluan lain seperti tebu. Lahan tebu biasanya lebih minggir karena belum terlalu menguntungkan. Kalau tebu menguntungkan saya yakin tanaman pangan yang akan kesulitan mencari lahan,” kata Fatchuddin.
Untuk mencapai swasembada maka APTRI minta supaya mekanisasi pertanian tebu semakin ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk regenerasi petani tebu. Anak muda tidak tertarik pada tebu selama masih mencangkul dan lebih memilih urbanisasi. Alat mesin yang diperlukan adalah traktor besar untuk membajak tanah dan bongkar ratoon; kultivator kecil untuk membuat lubang, arukan dan lipuran; alat pemanen tebu dan pompa air.
Penyediaan varietas unggul untuk masak awal, masak tengah dan masak akhir. Ini merupakan tugas P3GI menyediakannya. Fatchuddin minta P3GI ini jangan berbentuk PT karena merupakan lembaga penelitian.
Varietas unggul harus diikuti dengan ketersediaan air. Karena itu pompa air sangat penting untuk membuat sumur pantek di kebun tebu. Petani tebu juga sudah banyak menyediakan mobil tangki air untuk menyiasatinya. Kalau tergantung hujan karena waktu pengairannya bersamaan maka akan masak bersama.
Sarana produksi yang diperlukan adalah pupuk bersubsidi, pupuk non subsidi dan pestisida. Saat ini petani tebu yang mendapat alokasi pupuk bersubsidi maksimal dengan luas lahan 2 Ha. Sedang petani seperti Fatchuddin yang lahannya luas harus menggunakan pupuk nonsubsidi.
“Kita tidak masalah menggunakan pupuk non subsidi yang harganya mahal. Hanya ini harus diperhitungkan dengan benar dalam Harga Pokok Produksi,” katanya.
Sedang untuk biaya garap petani membutuhkan kredit berbunga rendah yang saat ini ada pada KUR. KUR merupakan kredit tanpa agunan dengan jaminan dari PG. Pembayaran kredit dipotong dari hasil panen tebu yang disetor pada PG.